Penyakit Di Karangbambang Pada Musim Kemarau Panjang

Penyakit Di Karangbambang Pada Musim Kemarau Panjang
Cerpen: Imam Nawawi*

Anto melangkah keluar dari toilet. Wajahnya pucat. Jalannya sempoyongan. Tangannya memegangi perut. Seperti warga desa yang lain, ia juga terserang penyakit mencret. Diare.

Istrinya sedari tadi berdiri menunggu di depan kamar kecil itu.  Juga mau buang air besar. “aku baru saja dari apotik, Mas. Pilnya kutaruh di atas meja, dekat gelas kopi.” Bicaranya singkat, dan lekas-lekas mengunci pintu toilet dari dalam.
Anto terus berjalan menuju teras. Mengabaikan suara istrinya yang terperangkap oleh ruang kecil itu. Jarak antara rumah dan kamar mandi terpisah oleh halaman. Di Desa Karangbambang, hampir semua rumah penduduk tidak punya kamar mandi dalam. Saat melintasi halaman, ia melihat sebuah becak datang dari arah jauh. Lalu melintas di gang depan rumahnya. Sekilas ia melihat. Menyelidik lebih tajam. Sepertinya ia kenal sepasang suami-istri yang numpang becak itu.

Pak Karlan dan Bu Karlan. Mereka pasangan suami-istri yang rukun. Bahagia bersama. Menderita bersama. Sampai-sampai, terserang diare pun pada hari yang sama. Ia sudah mengira sedari awal, mereka pasti baru saja berobat ke Puskesmas di Kecamatan. Semalam, di warung makan tempat warga sering nongkrong, Pak Karlan mengeluhkan penyakit mencretnya itu. Dan hari ini ia berencana berobat ke Puskesmas.

Cukup dengan lambaian tangan dan raut wajah yang layu, Pak Karlan mengucap salam tanpa kata dari jauh. Anto membalas salam Pak Karlan itu dengan cara yang sama. Ia melambaikan tangan kanannya, menunjukkan raut muka yang muram, sembari tangan kirinya memegangi perut yang sakit. Posisi badannya sedikit membungkuk karena kelelahan. Bolak-balik ke kamar kecil untuk buang air besar.
Pak Karlan dan Bu Karlan paham arti isyarat Anto itu. Tampaknya, seorang pemuda yang baru melangsungkan akad nikah dua bulan lalu, terserang penyakit yang sama. Hal itu terlihat dari wajah Anto yang kusut dan tangannya yang memegangi perut.

“Bu, padahal semalam Mas Anto masih sehat. Tapi sekarang dia….” Ucap Pak Karlan dengan sedikit tersenyum. Sekaligus semakin heran lantaran hampir seluruh warga desa terserang penyakit yang sama.
“Pa… Pa… coba lihat…” Bu Karlan memotong, dan menunjuk ke sebuah kamar mandi di samping rumah. Pak Karlan dan Bu Karlan melihat Bu Murti, Istri Mas Anto, yang baru keluar dari toilet. Memegangi perutnya yang tampak kesakitan.

“Saya saja kadang harus tiga sampai lima kali bolak-balik dari desa ke kecamatan. Yaah, mengantar orang-orang ke Puskesmas.” Si Tukang becak ikut menyambung percakapan Pak Karlan dengan istrinya. Pak Karlan, Bu Karlan, Si Tukang becak terus berbincang mengenai penyakit warga yang sama: mencret.
***
Malam telah tiba. Seperti biasa, warga desa menghabiskan malam di warung-warung makan. Walau sekedar memesan segelas kopi pahit. Walau sekedar bermain gaplek  dan merokok. Warung makan seperti itu tersebar di sepanjang jalan, di pojok-pojok pertigaan atau perempatan. Di tempat-tempat inilah, warga desa yang laki-laki berkumpul, berbagi, dan saling berkeluh kesah. Arah pembicaraan tentang penyakit mencret lebih dominan malam itu.

“Bu Dokter itu aku pikir ngaco, bicaranya tanpa dipikir-pikir.” Ucapan Pak Sadin mengundang gelak tawa mereka yang mendengarnya. “Dia minta aku berhenti makan makanan yang bersantan. Itu bisa bikin mencret, katanya.” Pak Sadin menirukan pesan seorang dokter perempuan yang bertugas melayani kesehatan di kecamatan. Dirinya juga terserang penyakit mencret.

Orang-orang semakin tertawa. Pak Sadin adalah salah satu pedagang besar buah kelapa; bahan dasar pembuatan santan. Dua kali dalam seminggu, ia memasok buah kelapa ke pasar kecamatan. Satu kali dalam seminggu, ia memasok buah kelapa ke pasar kabupaten.

“Betul, kamu, Din..” Pak Sleman ikut bergabung dalam canda. “Mana mungkin pedagang kelapa diminta berhenti makan kelapa! Kalau aku malah diminta berhenti makan makanan pedas. Padahal aku pedagang cabai.”

Orang-orang semakin terbahak-bahak mendengar tanggapan dari Pak Sleman. Walaupun mereka semua tahu, menolak resep dokter ahli adalah tindakan konyol. Termasuk Pak Udin dan Pak Sleman juga tahu hal itu. Tapi memang begitulah suasana malam hari di warung makan di desa Karangbambang.
“Tapi aku heran betul, Man…!!”
“Heran kenapa, Din…??”
“Walaupun aku berhenti makan makanan yang bersantan, dan minum semua obat sesuai resep bu dokter, mencretku belum juga kunjung sembuh…”
“Aku juga, Din. Aku sudah minta istri untuk tidak masak masakan pedas. Tapi mencretku tetap-tetap saja tuuh.. Semua obat dari bu dokter juga aku minum dengan teratur…”
Di saat semua orang serius membicarakan penyakit mencret mereka, dari ujung jalan yang sedikit gelap Pak Karlan dan Anto datang berduaan. Mereka menuju tempat orang-orang berkumpul. Sekalipun badan lemas dan perut sakit, mereka seperti warga yang lain. Memaksakan diri berkumpul. Menghabiskan separuh malam di tempat warga nongkrong.

Setelah memesan secangkir kopi pahit dan beberapa potong pisang goreng, Anto ikut bergabung dalam pembicaraan. “Hampir dua bulan belakangan ini kita menderita penyakit yang sama. Tak satu pun warga desa yang selamat darinya.”
“Betul, Nak.” Pak Sleman langsung menanggapi. “Kamu yang masih muda saja terserang. Apalagi kita-kita yang sudah tua.” Lanjutnya sambil menoleh ke kanan-kirnya. “Nak, aku yakin sekali warga desa sangat menderita.  Panen kita selalu gagal. Musim kemarau begitu panjang. Sementara tubuh kita terus diserang penyakit begini.”
“Jenengan betul, Pak.” Balas Anto. “Kecuali orang kaya yang tidak perlu bekerja di kebun atau sawah. Uangnya banyak. Hidupnya pasti lebih sehat. Dia bisa berobat ke kota. Dengan biaya mahal. Bukan di Puskesmas yang resep obatnya tidak pernah manjur.”
“Orang kaya seperti Pak Durmadi, maksudmu?” tanya Pak Sleman untuk mempertegas maksud ucapan Anto.
“Siapa beliau itu, Pak?”  Anto kembali bertanya. Ia betul-betul baru dengar nama Durmadi.
“Oh iya. Kamu kan warga pendatang di desa ini. Maklum tidak tahu siapa Durmadi.” Tukas Pak Sleman.
“Lantas, siapa Pak Durmadi itu?” tanya Anto menyelidik.
“Dia orang terkenal dan terkaya di desa ini. Semua warga desa pasti tahu beliau.” Pak Sleman menjelaskan. “Jika musim kemarau panjang tiba, panen selalu gagal, semua warga miskin di desa-desa sebelah, termasuk desa ini, meminta bantuan modal dari Pak Durmadi. Beiau pasti memberikan pinjaman. Tapi yaah dengan bunga tinggi. Bulan kemarin panen cabai gagal. Sampai sekarang aku belum mampu membayar bunga pinjaman.”

Anto terdiam. Ia melihat wajah Pak Sleman tampak sedih. Kebahagiaan yang baru saja menggantung di wajahnya kini pergi entah kemana. Semua orang yang ada di warung makan itu mengiyakan penjelasan Pak Sleman. Memang benar Pak Durmadi adalah rentenir. Lintah darat.
Malam semakin larut. Satu persatu membubarkan diri. Pulang ke rumah masing-masing.
***
Mentari pagi bersinar. Tingginya sepenggalah. Anto berdiri di depan toilet. Meminta istrinya untuk cepat-cepat keluar. Dari dalam kamar kecil itu, terdengar suara perempuan menggerutu. Sepertinya tak suka keburu-buru. Sejak Subuh sampai matahari terang, anto dan istrinya sudah dua kali keluar-masuk toilet. Tapi tak lama kemudian istrinya keluar. Dan Anto lekas-lekas mengunci pintu dari dalam.
Beberapa menit kemudian, Anto keluar dari toilet. Dan heran. Ia melihat Pak Sleman bertamu ke rumahnya. Beliau disambut oleh sang istri. Setelah berjabat tangan, Pak Sleman mengutarakan maksud kedatangannya.

“Mas Anto, maksud kedatangan saya ke sini adalah meminta bantuan dari sampean.”
Perbincangan antara mereka cukup lama. Istri Anto masuk ke dalam rumah. Tidak ikut campur urusan laki-laki. Pak Sleman meminta Anto agar bersedia meminjam modal kepada Pak Drumadi atas namanya. Sebagai orang yang belum pernah meminjam uang, Pak Sleman yakin Pak Drumadi akan memberikan pinjaman modal kepada Anto. Pak Sleman tidak berani meminjam atas nama dirinya sendiri. Bunga pinjaman bulan kemarin saja belum terlunasi. Dengan amat terpaksa, serta atas bujukan keras dari Pak Sleman, Anto pun bersedia.

Desa Karangbambang sangat luas. Wilayahnya bisa dibilang terbagi dua. Pedalaman yang didominasi oleh pegunungan dan persawahan. Dan wilayah minggiran yang dekat dengan kota. Di wilayah minggiran, penduduknya lumayan padat dan rata-rata pedagang. Jarak antara rumah Anto dan rumah Pak Drumadi harus ditempuh perjalanan satu jaum naik pedati.
Hari sudah setengah siang. Pak Sleman dan Anto tiba di depan sebuah rumah mewah. Berlantai dua. Halamannya luas. Terdapat taman dan kolam kecil. Garasi mobil di samping rumah. Pintu gerbangnya terbuka. Daun pintu rumahnya juga terbuka separuh. Tapi aktifitas di dalam tidak akan terlihat kecuali dari jarak dekat.

Dengan langkah gugup, Pak Sleman mengajak Anto masuk. Perasaan Anto sendiri sangat tenang. Seperti tak ada beban. Sementara Pak Sleman khawatir Pak Drumadi akan menagih bunga pinjaman bulan lalu. Padahal ia datang kali ini untuk kembali meminjam uang. Sekalipun atas nama Anto.
Langkah kaki Pak Sleman dan Anto semakin dekat dengan pintu rumah yang terbuka separuh. Dan tiba-tiba…

Tiba-tiba saja, degup jantung Anto menyusul degup jantung Pak Sleman. Bukan karena khawatir tidak mendapat pinjaman modal. Tapi mereka kaget setengah mati. Kaget melihat peristiwa yang terjadi di dalam rumah besar nan mewah itu.

Di dalam rumah megah itu, Pak Sleman dan Anto melihat Pak Karlan dan Pak Sadin mengeluarkan kotorannya di atas meja, piring, dan nampan. Lalu Pak Drumadi menyantapnya sambil tertawa senang sekali.

 *Punulis adalah ahli sejarah Timur Tengah sekaligus guru spritual.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penyakit Di Karangbambang Pada Musim Kemarau Panjang"