Makalah Konsep Oksidentalisme Hasan Hanafi



Konsep Oksidentalisme Hasan Hanafi

BAB I
PENDAHULUAN
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam menghadapi hegemoni keilmuan barat. Istilah yang ditenarkan oleh Hassan Hanafi ini berusaha mengkaji barat dalam kacamata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara kulon dan wetan (west and east). Dunia barat selama ini dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran, khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur.
Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. dan tidak menutup kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an (Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam. Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya.
Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama hadhari (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi, agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini, penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi yang memperkenalkan istilah Oksidentalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935 dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar dan tamat pada tahun 1948. Dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo dan lulus pada 1952. Selama di Madrasah Tsanawaiyah Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, hingga ia tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan mereka. Selain itu, Hanafi juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthb tentang keadilan sosial dan keislaman.[1] Pada tahun 1952, setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Hanafi lulus dan menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1956. Setelah itu ia melanjutkan studi ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, Hanafi berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya[2] .
Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), dan Profesor Filsafat (1980) pada Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Ia pun diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985), Persatuan Emirat Arab (1985), dan penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). Selama di Perancis ini, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar logika, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, mendalami fenomenologi dari Husserl, mempelajari analisa kesadaran pada Paul Ricouer dan logika pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya.
Di samping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Ia aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Pada tahun 1981 ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal ini pernah mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, yang menyeretnya ke penjara. Keberangkatannya ke Amerika sebagai dosen tamu sebenarnya tidak lepas dari perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir.
B. Kondisi Sosio Historis di zaman Hasan Hanafi dibesarkan
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Uni Soviet di seluruh dunia. Kemenangan Soviet dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942) merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna pada tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti Barat.[3] Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir tetapi sampai juga di luar Mesir, termasuk di Indonesia.
Pemerintah Mesir menyikapi pergolakan tersebut dengan melakukan pembersihan terhadap kaum komunis tahun 1946 dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap al-Banna pada tahun 1949, setelah setahun sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan itu terus berlanjut hingga meletusnya revolusi pada tahun 1952 yang dimotori oleh Ahmad Husain, salah seorang tokoh partai sosialis. Beberapa bulan kemudian, pada tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal dengan freeofficers[4]di bawah komando Muhammad Najib mengambil kesempatan.
C. Pengertian dan Latar belakang munculnya Oksidentalisme
Secara etimologi Oksidental berasal dari bahasa Inggris, ”Occident” yang berarti negeri barat. Hassan Hanafi, seorang Profesor Falsafah dari University Cairo mendefinisikan Oksidentalisme dalam bahasa Arab Al-Istighrab sebagaimana judul bukunya Muqaddimat fi ’Ilmi Al-Istighrab (Pengantar Ilmu Oksidentalisme), bahwa oksidentalisme adalah kebalikan (antonym) dari orientalis, yang diartikan secara umum bahwa oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat, dalam oksidentalisme, posisi subyek obyek menjadi terbalik. Timur sebagai subyek pengkaji dan Barat sebagai obyek kajian. Walaupun istilah Oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme, tetapi para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.
Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat.[5] Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah, universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan. Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos, sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini.
Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan. Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina, Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya. Atas dasar itu, muncul kesadaran baru di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Menurut hemat penulis kajian ini adalah upaya untuk menandingi oreantalisme dan merebut kembali ego Timur yang telah direbut oleh Barat.
D. Oksidentalisme Hasan Hanafi
Landasan Epistemologi Gagasan Oksidentalisme
Oksidentalisme terlahir dari realitas historis berupa tampilnya superioritas tradisi Barat melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme. “Proyek” oksidentalisme merupakan kajian obyektif-teoritis atas tradisi Barat. Selama ini ruang epistemologi masyarakat dunia seolah hanya menghadirkan satu realitas kajian yang dominan, yaitu studi orientalisme (kajian tentang tradisi Timur oleh Barat). Orientalisme sebenarnya lahir seiring dengan proses kolonialisme dan imperialisme yang dijalankan oleh masyarakat Barat (Eropa). Sejak awal ia menyajikan sebuah bacaan tentang dunia Timur yang sangat mempengaruhi misi kolonialisme. Mulai tahun 1815 hingga 1914 sejarah menjadi bukti betapa kekuasaan Eropa sudah merentang hampir ke seluruh daratan bumi.
Menurut Edward Said, gerakan orientalisme bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan gerakan ilmiah yang analoginya dalam dunia politik empiris adalah akumulasi kolonial di Timur dan akuisisi Barat. Bahkan orientalisme telah difungsikan sebagai suatu “sistem hegemoni penuh” yang mendistribusikan persoalan-persoalan geopolitik Barat ke dalam segenap realitas estetis, etis, ekonomi, sosiologis, budaya, filologis dan bahkan ranah ideologis.[6] Dominasi ini pada akhirnya memicu lahirnya ketidakseimbangan perhatian antara Barat di satu sisi dengan Timur di sisi yang lain. Said mengakui bahwa Barat memiliki kebudayaan yang maju dan superior, sementara Timur terbelakang dan bodoh. Tetapi superioritas tersebut bukan hasil dari proses yang sehat, melainkan proses politik yang penuh dengan kepentingan kolonial. Kajian Said tersebut diakui telah memperlihatkan dan “menguliti” orientalisme sebagai gerakan ilmiah yang didorong oleh motif-motif kekuasaan kolonialisme. Dengan melalui orientalisme, Barat mempunyai “jendela” untuk melihat dan melokalisasi Timur dengan tujuan bagaimana Timur dapat dikuasai dan sekaligus didikte.
Melalui studi orientalismenya Edward Said telah memberikan angin segar bagi pemikir dunia Timur, termasuk Hanafi untuk secara kritis melihat tradisi Barat yang spirit dasarnya adalah kolonialisasi. Berdasar pada konteks ini pula, mitos Barat sebagai tradisi yang hebat dan superior dapat diminimalisasi. Caranya adalah dengan menjadikan Barat sebagai obyek kajian. Suatu kajian kritis atas Barat untuk menarik tradisi Barat dari kesadaran ego masyarakat Islam. Perspektif yang digunakan diawali dari rekonstruksi kritis terhadap tradisi klasik sebagai identifikasi awal ego/al-ana yang akan menjadi tegas apabila pengetahuan tentang tradisi Barat sebagai the other/al-akhar bisa digali dan direlokasi dalam habitatnya sendiri.
Ketidakseimbangan kajian intelektual-akademis tersebut juga memunculkan stereotipe-stereotipe yang lahir dari ketidaktahuan dan sikap yang penuh prasangka, baik tentang dunia Timur (Islam) maupun juga tentang Barat. Polarisasi dan pengkutuban Barat dan Timur sampai sekarang terus berlangsung dengan punuh kecurigaan. Pengkutuban tersebut lahir sebagai produk sejarah panjang perbenturan ideologis antara Islam sebagai dunia Timur dan Kristen sebagai representasi Barat. Muatan konseptual ideilogis inilah yang membuat setiap pertemuan antara dua tradisi tersebut selalu disertai dengan letupan-letupan kecurigaan dan kewaspadaan satu terhadap yang lain.
Pada dasarnya, kecurigaan dunia Timur atas Barat bukanlah hal yang latah, karena orientalisme sebagai alat pandang terhadap dunia Timur dinilai tidak obyektif dan cenderung menyudutkan Islam. Apalagi bila diruntut secara historis kajian orientalisme yang mengiringi kolonialisasi telah terlebih dahulu memunculkan kecurigaan. Bagaimanapun orientalisme pada awalnya merupakan alat imperialisme, yang berusaha untuk mencari sisi-sisi keterbelakangan dunia Timur dan berusaha untuk melakukan gerakan pemberantasan. Meskipun dalam perkembangan terakhir orientalisme mencoba mengubah paradigmanya sebagai sebuah studi atau kajian terhadap Timur yang obyektif, namun kesan superioritas kultural Barat tetap tertanam dalam benak orang-orang Timur.[7]
Dalam Terminologi inilah, gagasan oksidentalisme yang digulirkan olehHassan Hanafi, bukannya sekedar keharusan epistemologis vis a vis orientalisme, tetapi lebih dalam lagi, berusaha menawarkan oksidentalisme sebagai kerangka epistemologis untuk membebaskan diri dari pengaruh pihak lain sehingga lahir kesetaraan antara dunia Timur dengan Barat. Keinginan tersebut sebenarnya sederhana. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain, sehingga terhindar dari relasi yang hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur. Dalam termonologi ini, oksidentalisme berusaha membalikkan posisi agar terjalin hubungan relasional yang seimbang antara Barat dan Timur. Ketika ego Eropa menampilkan diri sebagai subyek yang mengkaji the other (dunia non-Eropa), maka sudah saatnya tradisi Barat menjadi the other yang diselidiki dari ego Timur. Akan tetapi yang dikedepankan adalah bagaimana oksidentalisme mampu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other sekaligus menumbangkan superioritas the other (Barat) dengan menjadikannya sebagai obyek kajian. Pembacaan ulang atas tradisi klasik sekaligus tradisi Barat dimaksudkan untuk memberikan penjelasan betapa oksidentalisme berbeda secara signifikan dengan orientalisme. Oksidentalisme tidak diarahkan menjadi kekuatan imperialisme sebuah tradisi yang dibenamkan ke dalam kesadaran tradisi lain, sebagaimana yang telah digunakan secara manipulatif oleh kaum orientalis melalui kolonialismenya.
Dengan demikian, studi oksidentalisme memperlihatkan kerangka teoritik yang sistematik dengan tetap melihat pembacaan atas tradisi klasik yang dielaborasikan dengan pembacaan atas tradisi Barat sebagai the other. Prinsip metodologis yang sistemik ini dimaksudkan agar arah transformasi sosial masyarakat menemukan landasan pijaknya yang berakar dan melembaga dalam tradisi, tetapi tetap diorientasikan pada progresivitas melaui pembacaan secara kritis sumber-sumber kemajuan peradaban Barat.
Hanafi berupaya mengembangkan kajian oksidentalisme ini sebagai wacana keilmuan yang netral, terutama dari kepentingan dominasi epistemologi. Sekali lagi, oksidentalisme tidaklah digunakan sebagai alat imperialisme dan juga tidak diarahkan kepada dominasi koersif dan hak kontrol atas (model) tradisi lain, melainkan dijadikan sebagai basis epistemologi relasional untuk pembebasan diri dari berbagai bentuk dominasi sehingga terjalin hubungan dialektis antara dunia Timur sebagai al-anadengan dunia Barat sebagai al-akhar. Tampaknya apa yang hendak dibangun oleh Hanafi melalui gagasan ini adalah bagaimana superioritas dan dominasi epistemologi Barat yang selalu menampilkan dirinya sebagai rasional-modern dapat diurai sekaligus melenyapkan inferioritas ego dunia Timur vis a vis dunia Barat.
Epistemologi relasional ini berupaya melenyapkan reproduksi kebenaran melalui kekuasaan dan dominasi. Kebenaran yang dihasilkan oleh kekuasaan dan dominasi cenderung bersifat manipulatif dan ideologis. Oleh karenanya harus dibongkar. Artinya, kebenaran sebuah pengetahuan yang dihasilkan melalui “pemaksaan” dan dominasi epistemologi harus dicurigai menyimpan pesan-pesan ideologis. Barangkali benar apa yang diintrodusir oleh Michael Foucault bahwa kekuasaan di mana pun selalu menindas, karena kekuasaan telah memproduksi kebenaran menurut ukurannya. Kebenaran selalu berada dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang telah memproduksi dan menjaga kebenaran itu. Kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Dalam hal ini, jelas kebenaran tidak berada di luar kekuasaan. Ia lahir dari dalam kekuasaan itu sendiri. Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi oleh kekuasaan dan dominasi sesungguhnya memberangus kebebasan manusia untuk menjalin relasi antar sesama, melalui relasi yang seimbang dan egaliter, bukan didasarkan atas pengaruh dan dominasi.[8]
Berangkat dari bangunan epistemologi relasional ini, Hanafi menolak segala macam dominasi yang menyebut bahwa Barat adalah “mitos”, atau “pusat dunia” sekaligus “pusat pengetahuan”. Dalam setiap peradaban selalu ada ego dan the other. Tidak ada kekuatan tunggal yang bersifat monolitik sebagai klaim kebenaran rasional universal. Untuk meruntuhkan superioritas tersebut harus dijalankan ide demitologisasi Barat. Selama beberapa dekade, Barat—melalui westernisasinya—telah memberangus hilangnya ego dunia Timur. Westernisasi selalu menciptakan citra Barat sebagai tipe modernisasi dan pembebasan. Menurut Hanafi, terbelenggunya pembaru Islam yang berpijak pada tradisi Barat sebagai tipe modernisasi adalah sebuah pembebasan semu, karena masih menempatkan inferioritas ego di hadapan the other.
Pijakan epistemologi yang demikian semakin mengukuhkan oksidentalisme dalam tataran kajian ilmiah yang bersifat obyektif, karena ia berusaha menurunkan problem historis pembentukan superioritas Barat ke dalam wilayah epistemologi yang menyusun struktur dasar pengetahuannya. Secara implisit dapat dijelaskan bahwa bangunan epistemologi-lah yang mendasari oksidentalisme sebagai sebuah kajian ilmiah tentang epistemologi relasional pengetahuan yang tidak diiringi oleh dominasi, lebih-lebih oleh penindasan. Alasannya sederhana: bagaimana mungkin oksidentalisme dapat dijadikan alat untuk membebaskan dunia Timur tatkala ia sendiri berkembang menjadi alat dominasi dan alat penindas baru? Sistem relasional tersebut digunakan untuk menjelaskan betapa tradisi Barat sesungguhnya mengalami problem eksistensial, terbukti dengan runtuhnya berbagai ideologi modern yang selama ini didengung-dengungkan sebagai simbol kemajuan peradaban umat manusia.
E. Elaborasi Pemikiran Hanafi
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir sosial yang sangat mendalam, terbukti dengan pemikiran-pemikirannya yang dipaparkan di atas. Secara implisit pemikiran filsafat sosialnya memang tidak disebutkan dengan tegas, tetapi kalau disimak lebih dalam akan tampak bahwa pemikiran sosialnya sangat bernilai dan signifikan. Dimulai dari rekonstruksi teologi, Hanafi membongkar teologi klasik yang bernuansa metafisik menjadi nuansa antropologis. Jadi, yang diutamakan adalah persoalan kemanusiaan dan pemberdayaan diri agar memiliki keyakinan yang mantap dan tangguh, sehingga dapat menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang memakmurkan, bukan merusak.
Dengan gagasan oksidentalisme, Hanafi menginginkan adanya kesetaraan antar sesama manusia, baik secara individu maupun antar sesama bangsa. Agar tidak ada dominasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mencapai hubungan-hubungan tersebut perlu dibangun epistemologi relasinal. Epistemologi relasional akan memunculkan hubungan harmonis yang saling membutuhkan. Oksidentalisme sebagai gerakan (sosial) pemikiran diakui “berhasil” menawarkan opini. Oksidentalisme telah mengagetkan dunia intelektual (Barat) yang sejak beberapa abad terninabobokan oleh modernisme yang “membius” melalui ciptaan sains dan teknologinya. Terlepas dari problem itu, tampaknya realitas munculnya oksidentalisme merupakan suatu “sinyal” munculnya gagasan untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap basis-basis pengetahuan modern.
Kerangka pemikiran Kiri Islam juga memberikan tawaran keharusan melakukan perobahan sosial, yakni perubahan yang bersifat progresif-transformatif. Semua bangunan pemikiran Hanafi didasarkan pada kerangka metodologis yang bertumpu pada empat hal, yakni metode dialektika, metode hermeneutika, metode fenomenologi dan metode eklektik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan gagasan oksidentalisme, Hanafi menginginkan adanya kesetaraan antar sesama manusia, baik secara individu maupun antar sesama bangsa. Agar tidak ada dominasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mencapai hubungan-hubungan tersebut perlu dibangun epistemologi relasinal. Epistemologi relasional akan memunculkan hubungan harmonis yang saling membutuhkan. Oksidentalisme sebagai gerakan (sosial) pemikiran diakui “berhasil” menawarkan opini. Oksidentalisme telah mengagetkan dunia intelektual (Barat) yang sejak beberapa abad terninabobokan oleh modernisme yang “membius” melalui ciptaan sains dan teknologinya. Terlepas dari problem itu, tampaknya realitas munculnya oksidentalisme merupakan suatu “sinyal” munculnya gagasan untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap basis-basis pengetahuan modern.
B. Kritik Saran
Pembahasan tentang pemikiran Hasan Hanafi memang sangat menarik untuk dikaji terutama bagi yang ingin mempelajari oksedentalisme secara jelas komprehensif, karena makalah ini diajukan dalam payung besar mata kuliah oksidentalisme. Selanjutnya dalam pengerjaan makalah ini penulis telah berusaha maksimal, tetapi karena keterbatasan waktu dan kemampuan, kami sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan demi tersempurnanya makalah ini di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995)
George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992)
Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978)
Alim Roswantoro, “Studi Oksidentalisme: Mempertimbangkan Hassan Hanafi”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap Kita Terhadap Imperialisme,(Yokyakarta: Jendela, 2001)
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980)



[1] John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 98.
[2] Dengan Tesisnya yang berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux.
[3] George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992) hlm. 298.
[4] The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun 1947, yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhammad Najib, yang saat itu menjadi kepala staf. Dengan melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat dikendalikan. Saat pengambilalihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya menggandeng Ikhwan al-Muslimun yang mempunyai basis kuat di kalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan kekuasaannya.
[5] Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya.
[6] Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978), hlm. 17
[7] Alim Roswantoro, “Studi Oksidentalisme: Mempertimbangkan Hassan Hanafi”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap Kita Terhadap Imperialisme,(Yokyakarta: Jendela, 2001), hlm. 19 -20.
[8] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980), hlm. 133

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Konsep Oksidentalisme Hasan Hanafi"