KONTEKSTUALISASI MISI KENABIAN MUHAMMAD SAW
KONTEKSTUALISASI
MISI KENABIAN MUHAMMAD SAW
Oleh
: Muchamad Agus Munir*
Nabi Muhammad
SAW merupakan seorang manusia yang kompleks, penuh kasih sayang, yang
kadang-kadang melakukan hal-hal yang sulit kita terima, tetapi memiliki tatanan
yang jenius dan besar, serta telah menemukan sebuah agama dan tradisi budaya
yang tidak didasarkan pada pedang – tak seperti mitos yang dikembangkan di Barat
– dan telah memformulasikan bahwa yang namanya Islam adalah agama keedamaian
dan rekonsiliasi.
Beliau diberikan
tugas untuk mengajarkan agama Islam kepada manusia, dengan cara menyempurnakan
ajaran-ajaran umat terdahulu. Dengan dibekali kitab suci Al-Qur’an, beliau
membentuk ummatan wahidan (umat yang
satu) yang didasarkan pada prinsip egalitarian
(kesejajaran). Prinsip tersebut ditegakkan untuk semua umat, baik yang beragama
Kristen, Yahudi, Nasrani, Islam, dan sistem kepercayaan yang lainnya. Nabi berpendapat
bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab atau tugas yang sama, tidak pandang
apakah kaya, miskin, berilmu, tidak berilmu, saleh, tidak saleh dan lain
sebagainya. Nabi bersandar pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 177;
“Artinya: bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S.
Al-Baqarah : 177)
Jadi dapat kita
katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia
ini ialah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara
nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren
dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan. Atas dasar ayat tersebut, misi
kenabian menjadi semakin jelas. Sistem sosial-keagamaan berlaku umum, tidak
terbatas pada suku atau agama saja. Kebaikan dan kesetaraan dijadikan standar
umum terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada prinsipnya, setiap
orang di dalam masyarakat diperlakukan sama; keadilan dijadikan tolak ukur
dalam penentuan layak atau tidaknya sebuah perbuatan. Dari ayat tersebut juga
terlihat dengan jelas, jika Islam ingin menanamkan semangat egalitarian pada
seluruh sendi-sendi kehidupan.
Lain halnya
dengan yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana agama rentan menjadi penyebab
timbulnya konflik. Menurut sensus yang dilakukan pada tahun 2010, terdapat
sekitar 238 juta orang penduduk Indonesia. Terbagi kedalam lebih dari 17.000
pulau dengan memiliki lebih dari 1000 kelompok bahasa, sebagian besar berbasis
etnis. Sekitar 88% mengidentifikasi diri sebagai Muslim, 9,3% Kristen, 1,8%
Hindu, 0,6% Buddha, dan sisanya penganut berbagai agama yang lebih kecil.
Meskipun sebagai Negara yang mempunyai pemeluk Islam terbesar, Indonesia juga
sebagai Negara yang rawan konflik sektarian yang mengatasnamakan agama. The Wahid Institute (2014) mencatat bahwa selama lima
tahun terakhir jumlah intoleransi agama menunjukkan angka yang cukup besar,
pada tahun 2009 terdapat 121 kasus, 2010 terdapat 184 kasus, 2011 terdapat 267
kasus, 2012 terdapat 278 kasus, 2013 terdapat 245 kasus, dan tahun 2014
terdapat 154 kasus. Belum lagi yang baru-baru ini terjadi, pembakaran tempat
ibadah di Tolikara Papua dan Singkil Aceh pada pertengahan tahun 2015. Semakin
menunjukkan angka kekerasan atas nama agama di Indonesia masih terus terjadi.
Hal itu
didasarkan atas beberapa faktor yang mendorong terjadinya kekerasan di
Indonesia. Menurut Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menganggap bahwa faktor-faktor
tersebut antara lain faktor kegagapan budaya, adanya akumulasi kebencian dalam
masyarakat yang diawali dengan anggapan yang salah terhadap pemeluk agama lain,
serta kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada di lapisan masyarakat.
Dengan demikian
agar faktor-faktor tersebut dapat dicegah, pemerintah beserta masyarakat
Indonesia perlu memperteguh kembali keutuhan dan kesatuan umat beragama. Salah
satunya dengan memformulasikan kembali praktik kenabian yang didasarkan pada
prinsip kesetaraan dan kebebasan. Teladan egalitarian
yang diterapkan Muhammad SAW dapat dilihat sebagai cara praktis menerapkan
kasih sayang persaudaraan, yaitu melalui cara menghilangkan tingkatan sosial
dan politik. Hal itu dapat ditemukan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah, dengan
memperkenalkan praktik “persaudaraan”. Setiap sahabat Muhajirin memiliki ikatan
dengan sahabat Anshar. Lebih dari itu, persaudaraan juga ditekankan pada tiga
agama Monoteis, yaitu Kristen, Yudaisme, dan Islam.
Karen Amstrong
(2010) menjelaskan bahwa misi kenabian tersebut dinyatakan oleh Nabi dalam satu
perjanjian, yang saat ini dikenal sebagai perjanjian Hudaibiyyah atau Piagam Madinah. Perjanjian yang mempunyai tujuan
untuk membangun sebuah masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerjasama,
persamaan antara hak dan kewajiban di antara semua golongan, baik dalam
kehidupan politik, sosial, agama serta mewujudkan pertahanan dan perdamaian. Atas
dasar itu, Nabi dapat menciptakan kehidupan masyarakat di Madinah menjadi hoterogen,
semua suku yang saling bertengkar menjadi damai, dan agama-agama yang terdahulu
hidup rukun satu sama lain.
Sejarawan
Indonesia Kuntowijoyo (1999) menganggap bahwa misi kenabian Nabi Muhammad tidak
terbatas pada umat Islam semata, melainkan merangkul semua (all-embracing), demi terciptanya
penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu,
tugas terbesar umat Muhammad adalah melakukan transformasi sosial.
Inilah yang
diperlukan oleh umat Muslim Indonesia, membangun rasa kesadaran beragama yang ditekankan
pada rasa persaudaraan dan solidaritas. Umat Muslim harus tetap memandang
Muhammad seperti halnya manusia lainnya, tetapi beliau seperti batu berharga
diantara batu-batu. Kalau batu biasa buram dan berat, sebuah berlian akan
tembus cahaya dan memancarkan sinar. Misi kenabian Muhammad SAW adalah “tanda”
seperti tanda-tanda lain yang ditegaskan Al-Qur’an bagi kaum Muslim untuk terus
dicari di dunia. Karir kenabiannya adalah simbol, sebuah teofani, yang tak
hanya menunjukkan aktivitas Tuhan di dunia, tetapi juga memberi ilustrasi akan
penyerahan total manusia kepada Tuhan. Perkembangan keteladanan suci Muhammad
SAW adalah upaya imajinatif untuk menggarisbawahi makna hidupnya dan menerapkan
dalam situasi kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad bukan hanya sekedar karakter
pribadi dan sudah menyejarah, melainkan beliau adalah simbol atau sakramen yang
menyinari serta memberi makna sepanjang zaman.
Kalau saja
sekarang ini bangsa ini semakin terpuruk, itu karena “agama” yang tidak lagi
menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan,
kejujuran, kesetaraan, dan keadilan, sesungguhnya telah jelas dipratikkan oleh
Nabi. Namun, banyak di antara kita yang tak mampu atau bisa jadi keliru dalam
memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, ajaran kenabian telah gagal untuk
dipahami. Waallahu A’lam.
*)Muchamad Agus Munir,
Pemerhati Pemikiran Keislaman
Aktif di Rumah Kreasi Jihad Yogyakarta.
0 Response to "KONTEKSTUALISASI MISI KENABIAN MUHAMMAD SAW"
Post a Comment