Saputangan Biru

Saputangan Biru
Oleh: Layla Badra Sundari


“Kepada senja yang selalu turun tepat waktu, ijinkan aku berkisah tentang saputangan biru yang sengaja kuselipkan di jaket seorang gadis berambut pendek sebahu,” aku mulai membayang. Ia gadis puisi yang selalu aku kisahkan di mana-mana. Gadis tanpa nama yang abadi dalam setiap sajak yang kutulis dengan tinta  berwarna hitam.
^-^-^-^
Bagi ibuku, saputangan biru adalah benda bersejarah dalam hidupnya. Ia akan memperlakukan saputangan biru itu sangat spesial, melebihi benda-benda lain yang ada di dalam rumah. Ia mencucinya dengan sangat hati-hati, memberikan wewangian, lalu menyetrika, dan menyimpannya di lemari. Tak ada yang boleh menggunakan saputangan biru itu kecuali dirinya. Jika aku tiba-tiba meminjam saputangan biru itu karena terserang flu, ia akan segera menukarnya dengan saputangan berwarna coklat, merah, atau abu-abu.
Sering aku bertanya kepada ibu, kenapa saputangan biru itu tidak boleh aku gunakan, tetapi ibu hanya menjawabnya dengan senyuman sembari berjanji suatu saat nanti akan ibu ceritakan. Dan aku selalu menunggu ibu untuk bercerita.
^-^-^-^
Malam merangkak perlahan, aku dan ibu beristirahat di ruang keluarga setelah menyiapkan barang-barang untuk kepergianku ke kota gudeg. Esok, ibu akan melepasku, anak semata wayangnya ke tanah rantau. Sembari menikmati pisang goreng dan teh hangat, ibu bercerita tentang saputangan biru.
“Saputangan biru itu, pemberian ayahmu” ibu mulai berkisah.
“Saat itu, usiamu masih tujuh bulan dalam perut ibu. Ah, sekarang kau sudah sebesar ini. Kau sudah menjadi pejaka yang gagah. Kegagahanmu sama seperti ayahmu dulu ketika ibu mengenalnya saat pertama kali.”
“Apakah ibu mencintai ayah saat pandangan pertama?” Aku bertanya seperti bocah polos yang tak tahu apa-apa. Di depan ibu, aku selalu menunjukkan sifat kekanak-kanakanku. Dan ibu tak pernah marah padaku.
Ibu tersenyum. Matanya menerawang jauh ke balik jendela kamar. Ia tersenyum simpul.
“Ayahmu, pandai menaklukan hati wanita.”
“Apakah ibu wanita pertama yang ditaklukannya?” aku menggoda.
“Pertama dan terakhir.” Suaranya menyiratkan kebahagian, kebanggaan, sekaligus kerinduan yang amat dalam.
“Ayahmu adalah pangeran bagi ibu. Ia selalu menjaga kita berdua sampai sekarang.”
“Bagaimana ibu tahu? Aku tidak pernah bertemu ayah.”
“Saputangan biru itu adalah ayahmu.” Aku menunggu penjelasan selanjutnya.
“Saat itu, hujan sangat deras. Ayahmu tidur di samping ibu sembari mengusap perut ibu. Lalu ia bercerita tentang malam. Baginya malam selalu memberikan ketenangan. Di malam hari, suara jangkrik terdengar lebih nyaring, cericit tikus di luar rumah terdengar berisik, gemerisik daun yang bergoyang diterpa angin terdengar halus, hembusan nafas pun akan terasa sangat nyaring jika dini hari. Malam adalah milik orang-orang yang terjaga begitu Hamsad Rangkuti mengatakan.[*] Malam adalah surga bagi para pecinta. Ia pun tak pernah  melewatkan malam kelima belas. Saat itu, bulan akan bundar sempurna. Lalu kami berdua akan duduk di beranda rumah menyaksikan bulan, sampai kantuk menyerang. Ibu tertidur. Sementara Ayahmu masih terjaga. Saat ibu membuka mata, ia berkata, jangan tidur lagi, aku akan bercerita tentang hujan. Hujan yang mengguyur rumah kita ini adalah hujan berkah. Esok pagi, tanah akan basah, sungai-sungai akan berair kembali, dedaunan akan hijau segar, petani sumringah, tanahnya gembur kembali, bisa ditanami, dan kaca jendela kita akan berembun, kau akan mengelapnya dengan tanganmu saat membuka gorden. Lalu aku akan membersihkannya kembali saat kau memasak di dapur. Itu hujan di desa kita. Lain halnya dengan hujan di ibu kota. Hujan membawa bencana. Orang-orang bersungut mengutuk karena rumah-rumah tertutup air, mereka harus mengungsi, berbagi tempat tinggal, berbagi kamar mandi, berbagi makanan. Kantor-kantor mendadak libur. Berkas-berkas penting terbawa arus air. Sekolah-sekolah jadi tempat pengungsian, penyakit bertandang di tubuh siapa saja. Mereka sakit-sakitan. Mereka butuh obat. Mereka butuh dokter yang tanpa pamrih.”
“Apa kau berniat menolong ke sana, suamiku?”
“Jika kau mengijinkan, aku akan pergi.” Ibu memeluknya. Erat. Ibu tak mau ditinggalkan sendiri. Apalagi ibu takut petir. Hujan saat itu dibarengi dengan petir yang menyambar-nyambar. Jakarta semakin tenggelam.
“Percayalah, hanya sebentar, jika urusan di sana telah selesai, aku pasti pulang, kembali bersamamu dan anak kita.” 
“Siapakah yang akan menemaniku saat malam dingin, sayang?”
“Akan kupanggilkan ibuku untuk menemanimu dan menjagamu. Kamu tak akan sendiri.”
“Tetapi Jakarta sangat buruk keadaannya, aku khawatir terjadi apa-apa. Di sini pun banyak orang yang membutuhkanmu.”
“Di sini ada pak mantri, dan bu bidan. Aku sangat dibutuhkan di sana.”
Malam itu ibu menangis, merengek, tidak mau ditinggalkan. Tetapi ayahmu mampu meredakan tangis ibu. Dikecupnya kening ibu berkali-kali sebelum kita sama-sama tidur atau pura-pura tertidur.
Tiga hari selepas itu, ibu merapikan pakaian ayahmu. Tak lupa alat-alat yang biasa ia pakai untuk memeriksa pasien disertakan. Ayahmu siap untuk pergi. Garis kecemasan di wajahnya tak dapat terkubur oleh senyuman, pun Ibu. Ia akan pergi jam enam pagi menggunakan kereta eksekutif dengan beberapa teman dokter yang lainnya.
Tangis ibu pecah saat ia berpamitan. Entah, ibu merasa sangat rewel dan manja saat itu. Sepertinya bukan hanya ibu yang merasakan, kamu juga turut merasakannya. Kamu pun mencegah kepergiannya, walau pun ini adalah niat baik, sekaligus perintah negara yang tak bisa ditolak. Kamu menendang-nendang perut ibu, sakit rasanya.
Saat itulah, ayahmu mengeluarkan saputangan biru, mengelap gerimis di mata ibu dengan lembut, dengan penuh cinta, dan ia berkata “jangan menangis, saputangan ini adalah separuh jiwaku yang aku titipkan untuk jiwamu, kamu tidak benar-benar sendiri, sayang, saputangan ini akan mengelap luka yang kamu rasakan, dan aku rasakan. Simpan dan pakai lah saputangan biru ini saat kamu merasa sendiri dan bersedih hati, selama kamu percaya, kamu tidak akan pernah merasa sendiri.”
 “Tak lama berselang, cuaca di negeri ini semakin buruk, semakin banyak bencana, banjir sudah menjadi santapan setiap musim hujan. Gunung meletus, gempa, dan tsunami bertandang pada waktu yang tidak ditentukan. Ibu semakin khawatir dengan keadaan ayahmu di sana, Ibu selalu menanyakan kabarnya di sana, tetapi saat itu, mendadak handphonenya tidak aktif. Ibu berusaha mencari kabar ayahmu. Hingga akhirnya ibu mendengar berita di TV saat magrib, Jakarta menjadi lautan. Banjir bandang menyerang tidak bisa tertahan. Komplek perumahan menjadi santapan air yang mengamuk, banyak yang tidak terselamatkan. Ibu terus melihat berita di TV. Ingin rasanya ibu pergi ke sana mencari ayahmu, tetapi itu seperti menyetorkan nyawa pada malaikat Izroil yang sayapnya menyelimuti Jakarta. Ibu hanya menunggu. Berita terakhir yang ibu dengar, hanya sedikit warga yang ditemukan dalam keadaan selamat.
“Ayah meninggal saat itu, bu?”
“Iya, ia meninggal saat menjadi relawan. Jasadnya ditemukan setelah beberapa hari kejadian itu, dan ibu melihat untuk yang terakhir kalinya, ia menyunggingkan senyum di bibirnya walaupun banyak lebam di sekujur tubuhnya. Damai menyelimuti jasad ayahmu.”
Mendengar cerita ibu, ada hujan rintik-rintik di mataku, ada bangga dalam dada, ada haru, ada keinginan untuk bertemu dengan ayah.
“Apakah kamu bersedih, anakku? Tidak usah bersedih. Ayahmu masih ada di dada kita masing-masing, kita akan terus menjaganya, pun ayahmu, ia akan tetap menjaga kita.”
Itu kisah ibu yang dipendam bertahun-tahun, dan baru diceritakan ketika aku akan pergi mencari ilmu. Ibu memberikan saputangan biru itu untuk menjagaku. Awalnya aku enggan untuk menerima, karena ibu lah yang lebih membutuhkan saputangan biru itu, tetapi ibu memaksa. Aku membawa saputangan biru itu.
^-^-^-^
Di Yogyakarta, aku bertemu dengan banyak penyair. Aku belajar menulis puisi dan cerpen kepada mereka, dan kami juga sering berdiskusi. Biasanya cerpen menyuguhkan hal-hal yang unik dan beberapa kali aku meniru apa yang dikisahkan dalam cerpen. Semisal, cerpennya Puthut EA yang mengisahkan seorang laki-laki yang senang berlama-lama di stasiun untuk mengantar dan menjemput kekasihnya sembari asik membaca.[†] Nah, aku mencoba kebiasaannya. Aku mencoba duduk di stasiun, memperhatikan kepulangan dan kepergian dengan kecemasan dan kebahagiaanya, aku juga membaca, dan berlama-lama di sana. Aku menikmati kegiatan ini, maka aku teruskan saja hobi baruku ini, hanya saja sedikit berbeda dengan Puthut, aku tidak mengantar atau menjemput kekasih.
Sudah satu bulan aku bolak-balik ke stasiun. Ada yang lain sekarang di sana. Tiga hari ini, Jum’at sampai Minggu aku melihat seorang gadis duduk berhadapan denganku, namun terhalang satu baris kursi berwarna abu-abu. Ia tak pernah berpindah tempat duduk. Gadis itu memandang ke arah asal kedatangan kereta dari Barat. Matanya mengabarkan sebuah penantian panjang, wajahnya sendu. Ia  diam, sembari memegang handphone. Kali ini aku tidak membaca buku, tetapi membaca gadis berwajah sendu itu.
Aku kembali ke stasiun hari Senin- sore hari setelah kuliah usai- karena rasa penasaranku yang semakin dalam tentang gadis itu. Dan gadis itu memang sudah duduk di tempat biasa. Aku ingin menyapanya, tapi bingung untuk memulai. Entahlah, laki-laki macam apa aku ini. Tetapi tentu saja sudah terlahir sajak tentangnya.
Saat magrib tiba, ia berjalan ke arah Barat menyusuri rel kereta api. Aku mengikuti dan mengamatinya dari kejauhan. Ia berjalan sangat pelan. Ia seperti gadis yang kehilangan separuh jiwanya. Lalu ia berbelok ke pemukiman rumah yang biasa saja. Aku ikuti terus. Ia berhenti di sebuah rumah berwarna putih. Aku berhenti. Dan ia masuk ke rumah itu.
“Siapakah yang ditunggu oleh gadis itu?” aku bertanya pada rel kereta api, dan tentu saja tidak akan ada jawaban.
“Ia gadis senja yang berjalan ke Barat dengan terhuyung memasang wajah sendu dengan sepasang mata syahdu.” Hatiku berkata-kata. Dan jika malam telah genap, akan aku tuliskan sajak tentanganya. Gadis yang tidak aku ketahui namanya, namun cukup menawan hati.
Aku ingin memberikan saputangan biru untuk mengelap kesedihannya, seperti yang dilakukan ayah pada ibu. Berharap setiap kesedihannya purna. Lalu berganti dengan semburat garis di bibir dengan warna merah merona di pipi. Ah, aku bayangkan aku duduk bersanding dengannya, lalu ia bercerita tentang kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan kereta api, atau terbawa hanyut arus air Jakarta, atau terperosok di jalan raya yang amblas (benarkah tentang yang aku bayangkan ini?), dan perlahan akan aku usap pipinya dengan saputangan biru, tanpa banyak kata aku selipkan saputangan biru itu di jaketnya.
Dan esok, hari Minggu, sudah terpampang sebuah sajak berjudul “Gadis Senja” di media cetak. Senja datang tepat saat kau berjalan ke Barat/ sepasang rel kereta memanjang bersisian/ menjaga langkah penuh kecemasan/ kau gadis senja yang menjadi puisi di tengah kota/ gadis, kereta dari manakah yang kau tunggu kedatangannya?

Februari 2014



[*] Dalam pengantar antologi cerpen Bibir dalam Pispot karya Hamsad Rangkuti
[†]Dalam judul cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali,(Yogyakarta: Insist press, 2009), hlm. 1.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saputangan Biru"