Simbolisme Sastra dalam Sajak, Salama Elmie
Setiap penyair tentunya
memiliki suatu proses yang berbeda-beda antar satu sama lain. ada yang mencipta
puisi dari proses merenung diri di kamar, ada yang bermeditasi dalam tempat-tempat
tertentu, baik dengan cara menyusuri sungai, laut, jalan raya atau tempat-tempat liar
seperti sarkem, dolly dan sebagainya. Artinya apa, dalam menulis sebuah sajak puisi inspirasi dapat
kita peroleh dari berbagai moments mana saja. Tinggal
penyairlah akan membukus dan meraciknya nanti seperti apa. Meski tak seorang
pun, barang kali yang sanggup untuk mendeskripsikan holistisitas kehidupan
secara detail dan hakiki.[2]
Sering kali hanya dilengkapi oleh simbol-simbol dalam mengarungi perjalanan
sejarah kita. Tentu dalam puisi Salam Elmie tidak lepas dari pernak-pernik
simbol, yang terkadang sulit kita jangkau oleh alam pikiran.
Dan ketika pemulung kata
mencoba memeriksa kata demi kata dari puisi Salama Elmie. Pemulung kata awalnya
beranggapan bahwa pada sajak “Masakan Terakhir” tak lain ada sebuah menu bumbu
racik atau yang kita kenal dalam iklan telivisi adalah rahasia dapur ibu. Namun
anggapan itu sirna ketika sang pemulung kata membaca secara utuh sajak Masakan
Terakhir dimana yang begitu kreatif menghadirkan simbol-simbol sederhana namun
membuhtuhkan waktu yang begitu dalam, serta kecerdasan diatas rata-rata untuk
memahami makna dari simbol dalam puisi.
Tema utama mungkin adalah
tentang kenangan yang setiap waktu akan terus mengalir mengikuti arus sejarah, yang
diusung oleh SE, juga di topang oleh gudang pengetahuan yang ia dapat baik dari
membaca juga pengamalan yang diperoleh secara langsung apa yang dilakukan? Siapa
yang dikenal dan seterusnya. Terlihat dalam
–Perempuan-perempuan yang selalu menyerahkan usianya didalam rumah
bersama kursi dan meja- juga -Telah ku simpan semuanya menjadi masakan
terakhir di dapurmu. Benar tidaknya Wallahu Ahlam sebab penyair TS
Elliot pernah mengatakan “Tidak ada penyair dan puisi yang menyimpan makna
lengkapnya sendiri”[3]
Pemulung kata juga banyak
menemukan koherensi,serta logika teks yang masih menimbulkan keraguan pada bait
- Lalu ku telatakkan dimeja makan diatas piring Nasi, tumis, sambel, segelas
air minum, Serta buah yang dijadikan sebangai penutup makan yang meletakkan
diri diatas meja Semua hampir selesai dimasak, hanya saja aku telah lupa, Bahwa
lauk pauknya tak ada-
Namun pada akhirnya
pemulung kata sempai pada suatu kesimpulan bahwa sajak ini mengajarkan kita
untuk selalu membaca seperti pada peristiwa
Nuzulul Qura’an[4] surah yang pertama yaitu Iqra’. Membaca diri,
realitas sosial dan semesta, apabila kita
membaca lirik dibawah ini-
Aku terus membaca
setiap aksara dan
angka
disana,
bisa kutuliskan puisi
dan meletakkan diri
dalam sepi yang
dapat membawaku pergi
sebab aku tak bisa
lagi.
Puisi “Cerita Rakyat”
merupakan suatu kritikan pada penguasa juga ihwal tentang kehidupan, tradisi
kebudayaan rakyat. Dimana diksi –angin- dipilih oleh SE sebagai simbol
penguasa./pemerintah, dan –daun- adalah rakyat kecil. Begitulah kiranya.
Seperti realitas yang terjadi saat ini dimana para penguasa yang memiliki suatu
kebijakan punuh, sering dalam menjalankan
pemerintahan dengan semenah-menah, korbannya tak lain adalah rakyat.
Sketsa Perempuan
Pada teman perempaun yang selalu menutup luka
Dan senyumnya selalu menyapa membuat gelisah
Terjatuh diantara tumpukan kata-kata
Pada kerinduan yang tak biasa dan beraneka
Dipuisi Sketsa Perempuan,
ini memiliki karakter yang sangat
berbeda dari puisi sebelumnya yaitu seperti sebuah lukisan, yang ia potret baik oleh
indra mata maupun batin lalu ia gambarkan, yang kita kenal dalam dunia
kepenyairan atau kesusastraan saat ini, adalah tergolong pada aliran puisi
Impresiones, yang mana didalamya mengungkapkan sebuah kesan-pesan SE melihat
suatu kenyataan.
Akan tetapi dalam puisi
ini tampak sedikit terlihat sesuatu ketidak konsistenan, yakni kata –Kau-
dan –Mu-. Diksi –Kau- bisa saja memiliki makna yang lain dari artinya,
meski mengacu pada seseorang tertentu.
Walaupun pada akhirnya SE
tidak merasa dipenguruhi oleh siapa-siapa dalam puisi ini dan bahkan lebih
memilih pada dunia batinnya sendiri, yaitu dunia rindu, cinta,rasa, ketabahan,
ke ikhlasan dalam naungan -Senyum temen perempuanku- karena kita ketahui
bersama simbol –senyum- sebagai sajak atau lirik puisi yang dimengerti
maknanya diseluruh penjuru negeri..
Inilah sebuah catatan
singkat yang bisa saya tulis mengenai
puisi Salama Elmie, semoga menjadi
pembuka pintu gerbang yang baik pada
diskusi ini. Dari
sekian banyak kesalahan dan kurangnya akan ilmu pengetahuan, penulis senantiasa mengharap kritik dan saran
demi sebuah kebenaran. Mari kita diskusi,dan berbagi sesekali menghirup kopi,
lalu sekian terima kasih.
[1] Amunisi, diskusi komunitas rudal Yogyakart.
[2] Syafi’i Kuswaidi, Tarian
Mabuk Allah,(Yogyakarta: Pustaka Sufi )2003.
[3] Ngutip di salah satu essai Koran Harian Suara Merdeka.
[4] Peristiwa sejarah agung Nabi Muhammad Saw di Gua Hiro pada bulan
Ramadhan.
0 Response to "Simbolisme Sastra dalam Sajak, Salama Elmie"
Post a Comment