Simbolisme Sastra dalam Sajak, Salama Elmie

Oleh : Hariyono Nur Kholis[1]
Setiap penyair tentunya memiliki suatu proses yang berbeda-beda antar satu sama lain. ada yang mencipta puisi dari proses merenung diri di kamar, ada yang bermeditasi dalam tempat-tempat tertentu, baik dengan cara menyusuri sungai, laut, jalan raya atau tempat-tempat liar seperti sarkem, dolly dan sebagainya. Artinya apa, dalam menulis sebuah sajak puisi inspirasi dapat kita peroleh dari berbagai moments mana saja. Tinggal penyairlah akan membukus dan meraciknya nanti seperti apa. Meski tak seorang pun, barang kali yang sanggup untuk mendeskripsikan holistisitas kehidupan secara detail dan hakiki.[2] Sering kali hanya dilengkapi oleh simbol-simbol dalam mengarungi perjalanan sejarah kita. Tentu dalam puisi Salam Elmie tidak lepas dari pernak-pernik simbol, yang terkadang sulit kita jangkau oleh alam pikiran. 
Dan ketika pemulung kata mencoba memeriksa kata demi kata dari puisi Salama Elmie. Pemulung kata awalnya beranggapan bahwa pada sajak “Masakan Terakhir” tak lain ada sebuah menu bumbu racik atau yang kita kenal dalam iklan telivisi adalah rahasia dapur ibu. Namun anggapan itu sirna ketika sang pemulung kata membaca secara utuh sajak Masakan Terakhir dimana yang begitu kreatif menghadirkan simbol-simbol sederhana namun membuhtuhkan waktu yang begitu dalam, serta kecerdasan diatas rata-rata untuk memahami makna dari simbol dalam puisi.
Tema utama mungkin adalah tentang kenangan yang setiap waktu akan terus mengalir mengikuti arus sejarah, yang diusung oleh SE, juga di topang oleh gudang pengetahuan yang ia dapat baik dari membaca juga pengamalan yang diperoleh secara langsung apa yang dilakukan? Siapa yang dikenal dan seterusnya. Terlihat dalam   –Perempuan-perempuan yang selalu menyerahkan usianya didalam rumah bersama kursi dan meja- juga -Telah ku simpan semuanya menjadi masakan terakhir di dapurmu. Benar tidaknya Wallahu Ahlam sebab penyair TS Elliot pernah mengatakan “Tidak ada penyair dan puisi yang menyimpan makna lengkapnya sendiri”[3]
Pemulung kata juga banyak menemukan koherensi,serta logika teks yang masih menimbulkan keraguan pada bait - Lalu ku telatakkan dimeja makan diatas piring Nasi, tumis, sambel, segelas air minum, Serta buah yang dijadikan sebangai penutup makan yang meletakkan diri diatas meja Semua hampir selesai dimasak, hanya saja aku telah lupa, Bahwa lauk pauknya tak ada-
Namun pada akhirnya pemulung kata sempai pada suatu kesimpulan bahwa sajak ini mengajarkan kita untuk selalu membaca seperti pada peristiwa Nuzulul Qura’an[4] surah yang pertama yaitu Iqra’. Membaca diri, realitas sosial dan semesta, apabila kita membaca lirik  dibawah ini-
Aku terus membaca
setiap aksara dan angka
disana,
bisa kutuliskan puisi dan meletakkan diri
dalam sepi yang dapat  membawaku pergi
sebab aku tak bisa lagi.

Puisi “Cerita Rakyat” merupakan suatu kritikan pada penguasa juga ihwal tentang kehidupan, tradisi kebudayaan rakyat. Dimana diksi –angin- dipilih oleh SE sebagai simbol penguasa./pemerintah, dan –daun- adalah rakyat kecil. Begitulah kiranya. Seperti realitas yang terjadi saat ini dimana para penguasa yang memiliki suatu kebijakan punuh, sering  dalam menjalankan pemerintahan dengan semenah-menah, korbannya tak lain adalah rakyat.
Sketsa Perempuan

Pada teman perempaun yang selalu menutup luka
Dan senyumnya selalu menyapa membuat gelisah
Terjatuh diantara tumpukan kata-kata
Pada kerinduan yang tak biasa dan beraneka
Dipuisi Sketsa Perempuan, ini memiliki karakter  yang sangat berbeda dari puisi sebelumnya yaitu seperti sebuah lukisan, yang ia potret  baik oleh  indra mata maupun batin lalu ia gambarkan, yang kita kenal dalam dunia kepenyairan atau kesusastraan saat ini, adalah tergolong pada aliran puisi Impresiones, yang mana didalamya mengungkapkan sebuah kesan-pesan SE melihat suatu kenyataan.
Akan tetapi dalam puisi ini tampak sedikit terlihat sesuatu ketidak konsistenan, yakni kata –Kau- dan –Mu-. Diksi –Kau- bisa saja memiliki makna yang lain dari artinya, meski mengacu pada seseorang tertentu.
Walaupun pada akhirnya SE tidak merasa dipenguruhi oleh siapa-siapa dalam puisi ini dan bahkan lebih memilih pada dunia batinnya sendiri, yaitu dunia rindu, cinta,rasa, ketabahan, ke ikhlasan dalam naungan -Senyum temen perempuanku- karena kita ketahui bersama simbol –senyum- sebagai sajak atau lirik puisi yang dimengerti maknanya diseluruh penjuru negeri..
Inilah sebuah catatan singkat yang bisa  saya tulis mengenai puisi  Salama Elmie, semoga menjadi pembuka pintu gerbang  yang baik pada diskusi  ini. Dari sekian banyak kesalahan dan kurangnya akan ilmu pengetahuan,  penulis senantiasa mengharap kritik dan saran demi sebuah kebenaran. Mari kita diskusi,dan berbagi sesekali menghirup kopi, lalu  sekian terima kasih.



[1] Amunisi, diskusi komunitas rudal Yogyakart.
[2] Syafi’i Kuswaidi, Tarian Mabuk Allah,(Yogyakarta: Pustaka Sufi )2003.
[3] Ngutip di salah satu essai Koran Harian Suara Merdeka.
[4] Peristiwa sejarah agung Nabi Muhammad Saw di Gua Hiro pada bulan Ramadhan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Simbolisme Sastra dalam Sajak, Salama Elmie"