Puisi Hariyono Nur Kholis Minggu Pagi



Penyair Luka[1]

Aku sebut ini bukan luka yang sebenarnya
Karena luka tidak akan pernah memantul pada luka yang lain

Dari teriak angin bumi, membubung aroma kelangit
Sesak menempel dijantung,dipikiran,dihati
Lalu kembali.

Yogyakarta, 2013

Di Kotamu Aku Bermimpi

Di kotamu aku bermimpi jalanan sepi
Temaram pantulan cahaya rembulan
Dari balik dedaunan yang rindang
Tarian kelelawar malam
Diiringi suara gamelan angin hutan
Riak sungai penuh bebatuan
Jauh dan sesak bahan daur ulang

Di kotamu aku bermimpi
Berdiri tegak penuh ciuman abadi
Menatap langit syahdu tiada beban asap dan debu
Batangan emas, permata dan logam bersatu padu
Pada tubuh-tubuh perempuan
Firman-firman tuhan menjadi slogan
Gedung perkantoran.
Simbol luar negeri tidak sehati jarang dijumpai
Sana-sini kusaksikan kemesraan air dan api.

Yogyakarta, November  2013


Dermaga Kamal

Engkau membagi seuatas senyum
Memuncratkan sejuta cahaya kemesraan
Dalam pertemuan keabadian.
Riak menyulam rinduku menjadi buku
Mendayung jauh melepas sendu sujud cintaku padamu
Bila engkau adalah benar-benar cahaya kalbu
Dekaplah aku dan dia dalam laut semesta
Sebelum kuputuskan pulang
Seperti kedip bintang dilangit ombakmu.

Surabaya, Mei 2013

Asap Kereta Pagi

Tak ada kesunyian yang menutupi
Tak ada tangis buatnya untuk menepi
Terus membakar matahari yang beranjak pergi
Dari riasan pohon dan bebatuan
Jejaki jalan lurus tengadah dalam dingin,hujan dan panas

Yogyakarta, 2013

Sepi Ke-99
Sepi adalah suara yang
Mengenalkan aku dengan teguran Tuhan

Yogyakarta, 2013


[1] Dimuat di Koran Minggu Pagi 20-12-2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Puisi Hariyono Nur Kholis Minggu Pagi "