Senja yang Terluka



Desiran angin mampu gigilkan suasana malam, di luar sana pun nampak senyap tak ada lagi suara santri yang berkelabatan hanya saja lantunan-lantunan syair kodok yang terdengar memecahkan keheningan. Tanpa terasa waktu telah memukul angka 00:00 WIB, sedang mata itu masih enggan terpejam, bibir mungilnyapun masih belum lelah melafadhkan kalimat suci.
 “Gusti, benarkah ku harus meninggalkan Fahri dan belajar mencintai Furqan? Jika Furqan adalah pria yang memang kau ciptakan untuk hidup bersamaku, aku ridha melepas Fahri dan bersedia menjadi pendamping hidup Furqan demi menyempurnakan separuh imanku padamu, jadikanlah dia imam yang baik untukku, yang selalu setia menjadi pemanggul malamku, juga memegang kunci-kunci pintu fajar dalam hidupku untuk melaksanakan sunnah dan kewajibanku padamu”. Begitulah kata-kata yang terlontar di akhir sujudnya.
**********
Segurat cahaya merah telah rekah diujung syarqiyyah, angin berhembus menerpa dedaunan juga reranting yang kian rapuh, burungpun bernyanyi riang dari pohon tanjung ke dahan yang lain hingga akhirnya terbang jua menuju angkasa raya. Sedang suasana yang tergeletar di wajah Zulfa tak secerah pagi ini, seakan ada sesuatu hal yang membebani pikirannya.
“Zul, pagi-pagi kok raut wajahmu keruh, ada apa?”. Sapa Zahrah saat melihat sahabat karibnya duduk sendiri di bangku yang terletak didepan kelasnya. 
“Tidak rah, aku hanya memikirkan keputusan Abah dan Umi” ucapnya.
”Lalu bagaimana, apa kamu menyetujui keputusan beliau?” Tanya zahrah kembali.
“Setuju atau tidak aku tetap menerimanya, karena itu adalah keputusan orang tuaku , orang tua tentu lebih tahu mana yang terbaik dan tidak untuk buah hatinya”. Tegasnya, lalu menundukkan menatap tanah.
“Lalu bagaimana pula dengan Fahri dan perasaanmu, kamu tahu sendiri kan bagaimana Fahri padamu?”

”Ra, aku aku lebih dulu mengenal kasih sayang orang tuaku, jauh sebelum aku mengenalinya, kasih sayang yang Abah-Umi berikan melebihi segalanya dan ku harus mentaati mereka”, ucapnya dengan mata berlinang menahan perih sementara hanya terdiam, dalam hatinya ia mengiyakan perkataan zulfa
”Neng, gimana PR fiqihnya sudah dikerjakan ta?” Tanya Fahri yang baru datang, langsung menghampirinya. Ia datang dengan seulas senyum yang indah kemahiran, kelemah lembutan juga kesederhanaan masih terancang rapi pada dirinya. Maka bukanlah suatu kesalahan jika Zul mencintainya.
”Neng, pertanyaan mas kok belum dijawab, sudah belum?” tanyanya sekali lagi.
”Oh…!, sudah mas, mmm…! ada sesuatu hal yang ingin neng bicarakan” ucapnya.
”Tentang apa neng? Sepertinya serius amat”
”Tentang hubungan kita, mengharap mas Fahri ikhlas mengakhiri cinta kita”
”Mengapa begitu? Apakah mas telah melukai hati neng  tanpa mas sadari?”
”Tidak mas, mas tidak salah apa-apa. Neng berterimakasih atas kebahagiaan yang diberikan mas” 
              ”Lalu apa alasannya? Maaf neng, rasanya semua ini terasa terjal untuk mas lalui”.
”Neng sangat mengarti peasaanmu mas. Tapi,  ini keputusan yang harus neng pilih. Satu minggu yang lalu sepupu yang dari abah meminang neng dan abah umi menerimanya sedang rencana akad nikahpun sudah ditentukan, neng gak mungkin menolaknya karena selama ini terlalu banyak pengorbanan yang mereka lakukan demi kebahagiaan neng, dan semoga ini menjadi salah satu perwujudan pengabdian neng kepada mereka ” tuturnya. Fahri hanya tertunduk, ia tak lagi bisa berkata apa-apa, rasa pilupun mulai menyayat hatinya.
”Yakinlah mas, bahwa neng akan selalu mengenang mas” ucapnya sambil lalu pergi meninggalkan Fahri dan sejuta perih dihatinya.

                                    ***** 1 Minggu kemudian *****
Lazuardi yang tergelar diatas cakrawala nampak memar, kini mentari telah mulai rebah di pangkuan bumi, burng-burungpun yang bercericitan menyambut hangat cahaya mentari, telah rujuk ke sarangnya. Senja ini pula, pernikahan Furqan & Zulfa akan segera dilangsungkan. Para tamu telah berkumpul, begitu pula dengan Fahri dia telah datang untuk menyaksikan akad nikah gadis dambaan hatinya. Ia duduk di saf paling belakang, berusaha tegar menghadapi semuanya. Sesekali ia mengarahkan pandangannya keluar, menatap lekikan langit nan semakin gamang. ”Gusti, di senja ini begitu pilu kurasa, hidupku terasa hambar dan bahang, seakan-akan kuhidup sendiri terasa asing di Negeri lain yang tak berpenghuni, tanpanya.”
”Ya Rabbi, ya tuhan kami,  jika lelaki itu memang kau ciptakan untuk menjadi imamnya, hamba ikhlas dan akan mencoba menerima qadhar yang kau tetapkan.”

                                                THE END


Penulis bernama: Hamdatur Rafi’ah, kelahiran kota Sumenep Madura.












Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Senja yang Terluka"