Pancaran Khudi dalam Sajak-Sajak Iqbal

Pancaran Khudi dalam Sajak-Sajak Iqbal
Oleh: Muhammad Ali Fakih

Ketika penyakit yang diderita sudah menggerogoti seluruh tubuhnya, seseorang pernah berkata:

Kukatakan padamu tanda seorang Mu’min:
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir

Dan setengah jam sebelum berpulang, kepada teman Jermannya, Baron von Voltheim, ia masih sempat membisikkan sebuah sajaknya yang terkenal:

Melodi perpisahan boleh menggema atau tidak
Dari Hijaz, bunyi nafiri boleh bertiup lagi atau tidak
Saat si Faqir telah sampai ke batas akhir
Pujangga lain boleh datang atau tidak

Setengah jam kemudian, ia pun – menurut penuturan S. A. Vahid – menyeru “Allah…Allah…Allah…” ke ruang Jauh. Fajar pagi kota Lahore tanggal 21 April 1938 menjadi saksi berangkatnya ruh si Fakir ke haribaan Kekasihnya, Allah Subhanahu Wata’ala.
Ia adalah seorang penyair di mana puisinya pernah menyembuhkan penyakit stroke Henri Bergson, guru besarnya. Ketika itu, di tahun 1932, ia berkunjung ke rumah Bergson di Paris dan ia diminta untuk membacakan satu sajaknya. Selesai ia membaca, secara tiba-tiba Bergson meloncat dari kursi rodanya dan memeluknya sembari bersimbah air mata. Ia adalah seorang peyair di mana puisi-puisinya jadi senjata para pejuang India di saat-saat kemelut perang melawan penjajah Inggris; jadi kebanggaan kaum demonstran dan kaum revolusioner Pakistan. Selebihnya, ia hanyalah seorang penyair yang tidak pernah dinominasikan mendapatkan hadiah Nobel.
Dialah Allamah Sir Muhammad Iqbal: sufi, filsuf, penyair, ahli hukum, politisi dan terutama Bapak Gerakan Pakistan. Iqbal lahir di Sialkot Punjab India (sekarang Pakistan) pada 9 November 1877. Ayah, Syaikh Nur Muhammad, seorang penjahit dan guru sufi. Sedang ibunya, Imam Bibi, seorang wanita pecinta orang-orang miskin dan lemah. Iqbal adalah suami dari Karim Bibi, Sardar Begum dan Mukhtar Begum, serta ayah dari Mi’raj Begum, Aftab Iqbal dan Javid Iqbal.
Sebagai penyair, Iqbal telah menerbitkan kurang-lebih 14 antologi puisi: Shikwa, Jawab-i Shikwa, Sham’a aur Sya’ir, Bang-i Dira, Asrar-i Khudi, Rumuz-i Bekhudi, Payam-i Masyriq, Zabur-i Ajam, Javid Namah, Musafir, Bal-i Jira’il, Pas Chai Bayad Kard ay Aqwam-i Sharq?, Darb-i Kalim dan Armughan-i Hijaz. Puisi-puisinya sebagian besar menyuarakan ajaran neo-sufisme yang ia gali dari akar-akar filsafat Barat dan Timur.
Salah satu ajaran Iqbal yang paling fundamental adalah tentang khudi (ego). Seni yang dapat memperkuat khudi, menurut Iqbal, adalah seni yang baik. Sebaliknya, seni yang dapat memperlemah khudi, adalah seni yang kerdil dan tak berguna. Demikianlah kredo Iqbal tentang seni di mana karya sastra, termasuk puisi, ambil bagian di dalamnya. Jadi, hampir semua sajak-sajak Iqbal berisi muatan tentang bagaimana manusia dapat memperkuat khudi-nya.
Apakah khudi? Menurut Iqbal, tiap-tiap sesuatu memiliki individualitasnya (infiradhi) sendiri-sendiri yang derajatnya tidak sama antara satu dengan lainnya. Individualitas adalah suatu gerakan maju yang menjadi saluran segala objek dan materi. Ia maju naik ke tingkat hidup yang lebih tinggi hingga ia mencapai derajat manusia. Di dalam diri manusialah ia menjadi khudi. Dengan memperkuat khudi, menurut Iqbal, manusia dapat menaklukkan ruang di satu pihak dan waktu di pihak lain sedemikian sehingga manusia dapat mendekati Ego Tuhan (khuda), sumber kemerdekaan dan keabadian. Seseorang yang sampai ke tingkat ini akan menjelma sebagai manusia sejati (al-insan al-kamil). “Manusia sejati,” kata Iqbal, “tak akan hilang di dalam dunia, tetapi justru dunialah yang akan hilang di dalam dirinya”.
Bagaimanakah cara memperkuat ego? Menurut Iqbal adalah dengan cinta, faqir, berani, toleran, memperoleh hasil yang halal serta bekerja orisinal dan kreatif. Di bawah ini ditunjukkan sajak-sajak Iqbal soal itu.
Cinta:
Cinta dapat mengubah debu jadi permata
yang tercium di ambang pintu manusia sempurna

Faqir:
Faqir adalah jalan hidupku, bukan berpesta pora
Maka jangan jual khudimu dengan memakai baju peminta-minta

Berani:
Biarlah cinta membakar semua keraguan dan syak wasangka
Jadilah kau singa yang hanya tunduk kepadaNya

Toleran:
Hamba yang cinta mencari petunjuk Tuhan
senantiasa ramah kepada yang kafir dan yang beriman

Memperoleh hasil yang halal:
Nyalakan api yang tak kelihatan dari debumu
sebab sinar orang lain apalah artinya bagimu

Bekerja orisinal dan kreatif:
Jangan hinakan dirimu dengan meniru
Jagalah dirimu darinya
karena khdimu intan yang tak ternilai harganya
Sementara yang melemahkan ego adalah rasa takut, meminta-minta, perbudakan dan membanggakan keturunan.
Rasa takut:
Ketika Musa hendak menantang Fir’aun
terpalu godam di dalam hatinya sebuah kata: la takhaf!
Sebab takut kepada selain Tuhan dapat memperlemah tindakan
Sebab rasa takut adalah penyamun bagi kafilah kehidupan

Meminta-minta:
Seperti Umar yang turun dari ontanya
Waspadalah kau dari pemberian orang, waspadalah!

Perbudakan:
Dalam perbudakan hati mampus dari tubuh
Dalam perbudakan roh jadi beban tubuh
Dalam perbudakan sebuah bangsa jadi pecah belah

Membanggakan keturunan:
Leluhur hanyalah tubuh, dan tubuh bersifat fana
Hujjah kita lain dasarnya
Rahasianya terpendam dalam sanubari kita

Ide ego ini, menurut Iqbal, merupakan pondasi nilai bagi kehidupan manusia. Ia yang menentukan soal benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek. Tingkatan ego yang paling puncak adalah khalifatullah fi al-ard (wakil Allah di bumi) yang merupakan tingkat terakhir perkembangan manusia di atas bumi. Dialah ego yang paling lengkap, puncak kehidupan rohani dan jasmani. Di dalam ego itulah pertentangan mental jadi harmonis, kekuatan tertinggi dipersatukan, pikiran dan tindakan jadi tunggal. Ego itu merupakan buah terakhir pohon kemanusiaan.



GHAZAL 8

Seluruh isi jagat raya tak akan memuaskan jiwamu, oh majenun
Sia-sia saja mereka bolak-balik jalan di gurun
Pesona jahat dunia tak ada yang sanggup menghancurleburkan
kecuali khudi, kekuatan yang tak kita kenal
Terang adalah tanda kehidupan
dan laut tahu, ombaknya harus senantiasa berdeburan
Jika akal dan wahyu berselisih paham, akan sesatlah iman seseorang
Mengira al-Hallaj yang ditiang gantungan adalah musuhnya
demi berharap berkah Tuhan, tengah diperhamba atau berkuasa
orang-orang lantas memakai perisai seraya mencibir dunia
Namun, oh Jibril, jangan iri kau pada kehendak luhurku:
Berdzikir dan berdoa lebih baik ketimbang surga bagiku

Kedai anggur Timur dan Barat telah banyak kusaksikan
tapi di situ tak kujumpai pula pembawa cawan
dan anggurnya pun tak membangkitkan seleraku
Di Persia tidak, di Turki juga tidak
Pengingkar dunia yang dulu pernah menaklukkan raja-raja kini tak punya anggur lagi
Para warosatul anbiya’ suka menimbun harta dan menjual jubah Nabi
Jika kumohon agar kiamat disegerakan, mungkin akan menjawab Tuhan:
Adakah hari kiamat jauh jika Mekkah tertidur sedang China khusuk sembahyang?

Piala akal dipenuhi anggur penentangan
Sedang lewat cawan Iman tak ada orang yang mau bersulang
Sayup-sayup terdengar menjerit biola Eropa
Airnya yang membesarkan Hiu kini mengandung topan dan badai
yang akan menenggelamkan liang tempat tinggalnya
Diperbudak berarti asing dari cinta
akan keindahan orang-orang merdeka yang selalu mencari dan memburu keindahan
Maka jangan tatap mata budak, wahai mata jernih dan kebebasan!
Tolong-menolonglah!
Dunia hari ini berada di tangan mereka yang berlayar
dan mutiara hari esok akan muncul dari kedalaman arus waktu

Seni pembuat gelas Barat membikin batu lari
Kini telah kubuat gelas yang lebih cemerlang lagi
Fir’aun merancang pembunuhan atasku:
Kejahatan apakah gerangan yang telah aku lakukan?
Langit mengangkat tanganku yang putih bagai tangan Musa
di mana timbunan sampah dunia tak akan mampu memadamkan kilatannya
Tuhan menyalakan suluh agung yang menerangi seluruh pelosok gurun
Cinta, keyakinan dan hati yang teguh
tak akan gentar mengacakkan pinggang di hadapan pintu Caesar atau Khusrau
Jika bulan dan bintang turun tahta, apa yang mesti kau cemaskan, wahai insan?
Tak ada yang mesti kau cemaskan
sebab khudi-ku perpegang teguh pada pelana Nabi
Tuhankulah petunjukku! Dialah tujuan akhir dan penguasa segala
Dialah yang akan meminjamkan kilatan api Thursina
Kepada debu hingga mata cinta kembali bersinar
sebagaimana pula kandungan kalam
awal dan akhir telah kukhatamkan
Oleh sebabnya, aku tak nafsu memilih pecahan mutiara yang berserakan di bumi ini
sebagai tanda hormatku pada Syekh Sanai
karena dalam pasang laut khudi-ku akan tercipta ribuan juta mutiara


BAHAN BACAAN

Muhammad Iqbal. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad). Jakarta: Tintamas.
______________. 1976. Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi. (Terj. Bahrum Rangkuti). Jakarta: Bulan Bintang.
Dr. Ishrat Hasan Enver. 2004. Metafisika Iqbal (Terj. M. Fauzi Arifin). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
G.P. Polinskaya, dkk. 1986. Iqbal: Pemikiran Sosial Islam dan Sajak-Sajaknya (Terj. Abdul Hadi W.M). Jakarta: P.T. Pantja Simpati.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pancaran Khudi dalam Sajak-Sajak Iqbal"