Implementasi Kebijakan Moneter Di Indonesia
Implementasi Kebijakan Moneter Di Indonesia
Pada tahun 1966 sampai tahun 1968 Indonesia
diterpa krisis moneter yang cukup memprihatinkan. Pelarian modal ke luar negeri
terus mengalami peningkatan yang pada gilirannya mengakibatkan anggaran belanja
negara mengalami defisit yang sangat besar. Defisit tersebut dibiayai melalui
uang muka dari bank sentral, jumlahnya mencapai 56% dari total pengeluaran
pemerintah. Uang beredar meningkat sangat tinggi sehingga mencapai sekitar
1.000% pada akhir 1966. Kondisi ini mengakibatkan hiperinflasi, angkanya
mencapai 635%. Dampak lanjutan dan situasi yang tidak stabil tersebut adalah
menurunnya hasrta masyarakat untuk menabung. Pada gilirannya bank-bank
kesulitan mendapatkan dana dari masyarakat. Satu-satunya sumber dana yang dapat
diandalkan oleh bank adalah dana yang berasal dari bank sentral dengan tingkat
bunga rendah.[1]
Mengatasi krisis moneter, inflasi dan kelesuan
ekonomi tersebut, pemerintah mengambil tiga kebijakan, yaitu: kebijakan moneter,
fiskal dan devisa, disamping kebijakan lainnya terutama di bidang investasi
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Kebijakan
di bidang moneter diarahkan guna menekan infalsi dengan cara menghimpun dana
masyarakat untuk disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit ke sektor
produktif. Pada 1968 pemerintah menggunakan instrumen moneter berupa kebijakan
suku bunga tinggi, yaitu menaikkan suku bunga deposito menjadi 72% per tahun.[2]
Hasil dari kebijakan moneter yang dilakukan
pemerintah cukup membahagiakan. Jumlah deposito berjangka yang dihimpun
perbankan meningkat dari Rp4,5 miliar pada akhir Desember 1968 menjadi Rp33,6
miliar pada akhir 1969. Selanjutnya, pemerintah mengembangkan sistem perbankan
dan keuangan yang lebih sehat dengan mengeluarkan UU No. 14 Tahun 1967 tentang
pokok-pokok Perbankan dan UU No. 13 Tahun 1966 tentang Bank Sentral.[3]
Kebijakan moneter tahun 1967-1968/69 meski cukup
berhasil menurunkan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun
tidak menuntaskan secara permanen krisis di Indonesia. Terbukti pada tahun 1978
sampai tahun 1982 Indonesia kembali diterpa inflasi yang cukup tinggi. Tingkat
inflasi yang ada pada 1970/1971 mencapai 7,8% mulai bergerak mencapai 25,7%
pada 1972/1973 dan 47,4% pada 1973/1974. Ppenyebab inflasi kali ini berbeda
dengan tahun 1960-an, pada tahun 1960-an sumber inflasi adalah meningkatnya
uang beredar yang disebabkan oleh defisit anggaran pemerintah yang dibiayai
oleh bank sentral, sedangkan kali ini terjadi akibat kenaikan secara tajam uang
beredar (yaitu sebesar 47,9%) akibat pengaruh ekspansif sektor luar negeri
(sebesar 63,7%) karena naiknya harga minyak bumi dan arus masuk modal jangka
pendek, serta sektor perkreditan yang antara lain disebabkan oleh kenaikan
kredit likuiditas dengan tajam.[4]
Kegagalan kebijakan moneter yang dilakukan
pemerintah pada tahun 1960-an dan 1972 disebabkan oleh dua kebijakan yang
kontra solutif, yaitu: pertama adalah pembiayaan defisit negara dengan mencetak
uang baru dan instrumen suku bunga. Pencetakan uang baru tersebut mengakibatkan
jumlah uang beredar di masyarakat semakin meningkat dan akibatnya Indonesia
mengalami hiperinflasi. Menurut Ibn Taymiyah pencetakan kuantitas uang harus
didasarkan pada kuantitas transaksi yang terjadi di masyarakat.[5] Seharusnya pemerintah mendorong pengembalian
modal dalam negeri yang banyak lari keluar negeri. Kedua adalah suku bunga
sebagai instrumen mengendalikan peredaran uang.
Menjawab persoalan tahun 1972/1973 pemerintah
memberlakukan serangkain kebijakan yang terdiri dari pengendalian harga atas
beberapa komoditas penting, kebijakan suku bunga tinggi, kebijakan pagu kredit,
dan penetapan simpanan wajib atas aliran masuk modal jangka pendek. Disamping
itu, kebijakan suku bunga tinggi kembali dilakukan pemerintah dengan menaikkan
suku bunga deposito berjangka dan Tabanas serta suku bunga pinjaman rupiah
bank-bank pemerintah secara selektif. Dalam rangka pengendalian moneter, di
samping menggunakan reserves requirement, Bank Indonesia juga menggunakan
instrumen langsung berupa penetapan pagu aktiva neto dan penetapan suku bunga
bank-bank pemerintah.[6]
Pada 1972 pemerintah kembali menggunakan instrumen
kebijakan suku bunga sebagaimana yang dilakukan pada 1960-an sebagai target
sasaran operasionalnya. Menjadikan suku bunga, dalam terminologi Islam bunga
disebut juga riba, sebagai instrumen kebijakan moneter adalah suatu kebijakan
spekulatif yang justru rentan krisis. Suku bunga tidak mampu menyelesaikan
persoalan krisis moneter secara tuntas. Kalau krisis moneter diibaratkan
kanker, menyembuhkan kanker dengan memakai instrumen suku bunga (riba) hanyalah
memotong sebahagian akar kanker, tidak mengangkat kanker sampai tuntas, dan
melukai kulit yang malah membuat pertumbuhan sel kanker semakin cepat pada
selanjutnya.
Dalam islam, bunga (riba) itu dilarang. Bunga
(riba) telah keluar dari sifat dan fungsi uang yang sejatinya. Ibn Taymiyah
menyebutkan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar dan sebagai ukuran
nilai. Uang secara intrinsik tidak ada nilainya, uang hanya akan bernilai
apabila disandarkan pada sektor riil, komuditas atau jasa. Sehingga, menurut
Ibn Taymiyah jual beli uang, bunga atau riba itu tidak boleh karena telah
menciderai sifat dan fungsi uang.[7]
Suku bunga akan mendorong masyarakat untuk
melakukan permintaan atau pun penyimpanan uang dengan motif spekulasi, bunga. Permintaan terhadap
uang karena motif spekulatif pada dasarnya didorang oleh fluktuasi suku
bunga pada perekonomian kapitalis. Suatu
penurunan dalam suku
bunga dibarengi denga harapan
tentang kenaikannya akan
mendorong individu dan
dibarengi dengan harapan tentang
kenaikannya akan mendorong
individu dan perusahaan
akan meningkatkan jumlah uang
yang dipegang. Karena
suku bunga seringkali berfluktuasi pada perekonomian
kapitalis. Karena dalam perekonomian kapitalis tingkat bunga seringkali
berfluktuasi, uang yang sengaja hanya disimpan akan terus menerus
berubah.
Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai kebijakan
moneter? Secara prinsip dalam
pelaksanaan kebijakan moneter
Islam menurut M.Umer Chapra
berbeda dengan kebijakan moneter konvensional terutama dalam pemilihan target
dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut
adalah prinsip Islam
tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun
rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan
target pelaksanaan kebijakan
moneter maka secara
otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam tidak memungkinkan
menetapkan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya.
Menurut M. Umar Chapra dalam perekonomian Islam,
permintaan akan uang terutama muncul dari transaksi dan kebutuhan yang
kebanyakan ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya. Permintaan
spekulatif akan uang pada dasarnya
dipicu oleh fluktuasi
tingkat bunga dalam
perekonomian kapitalis. Penurunan tingkat
bunga yang disertai
dengan harapan yang
akan meningkat merangsang orang
ataupun
perusahaan-perusahaan untuk tetap
menyimpan uangnya. Dalam sebuah perekonomian Islam, permintaan terhadap
uang akan lahir terutama motif dari
transaksi dan tindakan berjaga-jaga
yang ditentukan pada umumnya
oleh tingkatan uang
dan distribusinya.[8]
[1] Pohan Aulia, Potret
Kebijakan Moneter di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm.
105-106.
[5] Ishlahi Abdul Aziz, Economic
Consepts of Ibn Taymiyah, (UK: The Islamic Foundation, 1988 H), hlm. 141
[7] Ishlahi Abdul Aziz, Economic
Consepts of Ibn Taymiyah, (UK: The Islamic Foundation, 1988 H), hlm.
139-140.
[8] Makin merata distribusi
pendapatan, makin besar
permintaan akan uang
tingkatan pendapatan agregat tertentu. Lihat David Laidler, The Demand for Money Theories and Evidence (Bombay:
Allied Publisher, 1972), h.66
0 Response to "Implementasi Kebijakan Moneter Di Indonesia"
Post a Comment