IBU
IBU
Oleh: Hariyono Nur Kholis
Musim kemarau telah tiba. Sama
seperti musim-musim kemarau sebelumnya, air di kampungku begitu sulit didapat.
Namun kemarau kali ini lebih sulit lagi dari kemarau-kemarau biasanya. Eksploetasi
alam secara berlebihan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, egois, yang
hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa memperdulikan nasip penduduk desa
kami. Penebangan pohon-pohon itu untuk memenuhi permintaan orang-orang kota
yang rakus telah membunuh sumber mata air di desaku. Sungai-sungai mengering,
sumur-sumur taklagi berair. Jangankan untuk mandi, mencuci, memasak, untuk
minum saja sulit. Hanya ada satu mata air yang mampu bertahan yaitu, sumur sa’dan,.
Konon katanya, sumur itu digali seorang diri oleh orang yang bernama Sa’dan.
Sehingga orang-orang di kampungku menamakannya sumur sa’dan. Namun untuk
mendapatkan air itu butuh kesabaran, karena harus antre. Terkadang sampai
berjam-jam. Seluruh penduduk desa menggantungkan diri pada sumur tua itu.
Berharap selamanya tetap berair sebagai persediaan kala musim kemarau tiba.
Sebenarnya, masih ada satu mata air di kaki bukit tembing yang juga mampu
bertahan di musim kemarau. Namun, jaraknya sangat jauh sekitar satu kilo dari
rumahku. Belum lagi jalannya terjal, berduri dan tempat dimana
binatang-binatang buas biasa mencari mangsa. Sehingga penduduk desa enggan
untuk mengambil air kesana.
Pagi-pagi buta sebelum shubuh dan
sebelum ibu-ibu yang lain menimba air, ibuku bangun dan sesegera bergegas untuk
mengambil air. Dengan ember dan obor ditangannya, ia menerobos memecah gelap.
Tentu obor itu takcukup mampu membantu matanya yang telah rabun. Jam setengah
lima ibu membangunkanku, air untuk mandi dan nasi sudah siap. Aku bergegas
mandi, kemudian sholat, lalu makan dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Jam enam aku berangkat sekolah. Mengayuh sepeda pemberian al-marhum bapakku,
yang telah meninggal setahun yang lalu.
Tak lupa aku mencium tangan ibu dan mengucap salam seperti yang bapak ajarkan
padaku.
Datangnya musim kemarau kali ini
menggenapkan penderitaan ibu. Biasanya bapak yang selalu menimbakan air untuk
memasak dan untukku mandi sebelum berangklat sekolah. Ibu hanya tinggal memasak
dan menghidangkannya untukku. Tapi, kini ibu harus menimba air sendiri untuk
memasak dan untukku mandi karena ayah sudah meninggal seminggu yang lalu
kareana penyakit ginjal yang dideritanya. Kasihan ibu. Aku tidak bisa
membantunya. Aku juga sibuk dengan sekolah, OSIS dan tugas-tugas sekolah yang
lain.
“Jangan kau pikirkan ibu,
pikirkan saja sekolahmu nak!, kamu harus pintar dan men jadi manusia yang
beguna untuk bangsa dan agama”.
“Aku berjanji pada ibu, suatu
saat nanti, aku akan membebaskan ibu dari penderitaan ini. Ibu tidak harus lagi
bangun pagi-pagi buta untuk mengambilkanku air untuk mandi dan untuk ibu
memasak”, ibu memeluk erat tubuhku sembari terlontar dari kedua bibirnya yang
mengerut dimakan usia namun begitu lembut didengar kata-kata samar dan
terengas-engas. “Ya nak”.
“Ibu menangis?”.
“Tidak…!”, mencoba menghindar.
Tapi, air mata ibu yang jatuh dilenganku takbisa memungkirinya.
“Ibu ingat pada bapak?”.
“Tidak…! Ibu hanya takut, kalau
ibu mati, siapa yang akan merawatmu nak?”, isakan dan air mata ibu semakin
menjadi.
“Kenapa ibu bicara seperti itu?”,
tanyaku heran. Tidak seperti biasanya ibu bicara tentang kematian. Apa ini pertanda
kalau ibu akan meninggal. Tidak, ini mungkin hanya perasaanku saja yang
berlebihan. Bapak sudah pergi, tidak mungkin tuhan setega itu padaku mengambil
ibu juga dariku. Bukankah tuhan maha pengasih dan maha penyayang.
“Sudah, jangan kau pikirkan, ayo
kita tidur”, ajak ibu, lalu menggendongku kekamar.
Sepanjang malam pikiranku
takkaruan, selalu ingat kata-kata ibu, dan timbul tanya menakutkan. Bercumbu
antara hayal dan nyata menjadi misteri yang sulit dipecahkan. Aku pun mulai
terlelap. Lorong-lorong waktu gelap seketika. Melemparkanku pada jalan curam
tak beraspal. Dipersimpangan jalan aku dikejutkan dengan sosok wanita tua
berjubah putih. Wajahnya berbinar-binar dengan digandeng oleh dua makhluk tak
berwajah. Lalu mereka meluncur kelangit seperti roket. Wanita tua itu
melambaikan tangan padaku sembari tersenyum. Dia itu ibu. Lalu mau mereka bawa
kemana ibuku?. “Ibu…! Ibu…! Ibu…!”. Kuberteriak berharap mereka kembali. Namun,
kedua makhluk tak bewajah itu terus membawa ibu pergi tanpa memperdulikan
teriakanku. Lalu lenyap ditelan langit. “Astagzfirullah…!”, serentak aku
terbangun. Keringat mengucur deras membasahi selimut kusam itu. kubaca doa lalu
kembali tidur berusaha melupakan mimpi buruk tadi.
Seperti biasa pagi-pagi buta ibu
bangun dan bergegas menimba air kesumur sa’dan. Menyiapkan air mandi, menanak
dan menghidangakannya untukku.
Jam enam aku berangkat sekolah
mengayuh sepeda pemberian al-marhum bapak. takpernah lupa aku mencium tangan ibu dan
mengucap salam seperti yang bapak ajarkan padaku. Saat pelajaran berlangsung, kembali
aku terlempar pada misteri tanya tak berujung itu. Sehingga konsentrasiku saat
pelajaran menjadi buyar. Sama saja dengan bolos. Sesudah jam pertama selesai,
aku meminta idzin pulang dengan alasan kurang sehat.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumusssalam. Ko’ pagi
pulangnya?”, terdengar suara dibalik pintu. Sembari ibu membuka pintu, lalu
kupeluk ibu. Dan tanpa sengaja air mataku membasahi baju ibu yang sudah lusuh,
kusam dimakan usia.
"Kamu sakit nak…?”, seraya
mengusap kepalaku.
“Tidak”, jawabku singkat.
“Lalu kenapa?”, tanya ibu cemas.
“Aku idzin bu…!, karena aku
kangen sama ibu, ingin memeluk ibu selamanya. Ibu jangan tinggalin aku ya…?”. Sepontan
ibu mendekap tubuhku erat tanpa menanggapi keluhanku. Seluruh kulit tubuhnya
yang keriput cukup mampu menghangatkan tubuhku. Suasana menjadi hening
seketika, damai, tentram. Serasa
dikampung hanya ada aku dan ibu. Tak ada orang-orang egois itu,
orang-orang yang telah menghancurkan ribuan masa depan anak-anak desa. Desaku
hijau, asri dan nyaman.
“Astagzfirullah, aku tertidur”.
Ibu sengaja tidak membangunkanku, mungkin ia melihatku begitu nyenyak hingga taktega untuk membangunkan. Lagian
kalau tidur sebelum waktu sholat dan terbangun setelah waktu sholat itu habis
tidak dosa. Itu termasuk manusia diluar khithob. Begitu menurut penjelasan KH.
sulaiman guru agamaku.
Hari sudah mulai menua, mega
memerah lalu datang gelap pertanda malam telah tiba. Aku bergegas mandi dari sisa air tadi pagi,
meskipun sedikit cukuplah membersihkan tubuhku dari keringat. Lalu sholat
magrib dan mengkodha’ sholat yang telah kelipat. kemudian mengaji dan membaca
buku sebagaimana yang bapak ajarkan padaku.
“Nak…!, ayo makan malam”, ajak
ibu.
Sehabis makan dan sholat ‘isyak,
aku bergegas kekamar tidur dan kubaringkan tubuhku diatas kasur tua yang sudah
melapuk peninggalan bapakku. Ternyata
ibu mengikuti langkahku hingga kekamar.
“Boleh ibu tidur denganmu malam
ini?”, seraya berbaring disebelahku.
“Boleh”. Ibu memeluk tubuhku
erat. Tapi, pelukan ibu terasa dingin sekali, seperti mayat. Tidak, ibuku masih
hidup. Mungkin ibu hanya kedinginan.
Rasa takut bergemuruh dalam jiwa,
cemas dan ada pula bahagia, haru menyelinap disela-sela pelukan kasih sayang
tulus itu bercampur menjadi adonan tak tentu rasa. Aku terlelap lebih awal dari
ibu. Setengah sadar terdengar suara
isakan tangis dekat telingaku, sangat dekat. Lalu aku terbangun karenanya.
“Tidurlah nak…!”, sembari
menghapus air matanya, mencoba menyembunyikan tangisnya dariku. Aku pejamkan
mata meski sebenarnya aku tak tidur. Malam sudah sangat tua. Semua makhluk
mungkin telah tidur, kecuali aku dan ibu, mungkin juga tukang ronda dan orang-orang
sholeh yang sedang sholat malam. Isakan tangis itu lalu lenyap. Kubuka mata
kulihat ibu sudah tidur. Akupun
mengikuti jejaknya.
“Astagzfirullah, sudah shubuh,
aku telat”. Ibu mengagetkanku dan membuatku terbangun karenanya. Kulihat ibu
sangat tergesa, mengambil ember dan obor lalu berlari menuju sumur sa’dan.
Benar kata ibu, ia benar-benar telat, disana sudah banyak ibu-ibu sedang antre
menunggu giliran menimba air. Tak mungkin ibu menunggunya. Berdiri dibelakng
deretan panjang seperti orang-orang berebut tiket kereta. Sedangkan bus-bus
kosong memenggil-manggil penumpang. Meski lajunya tak secepat kereta. Tapi,
setidaknya ia sudah dalam perjalanan menuju tujuan. Tidak diam saja. Waktunya akan terbuang sia-sia. Adri mungkin
sudah berangkat. Tidak makan dan tidak mandi. Seorang ibu tak akan pernah membiarkan itu
terjadi. Teringatlah ibu pada mata air di kaki bukit tembing itu. Tanpa pikir
panjang berlarilah ia. Tubuhnya yang sudah tua renta, tenaganya pun tak sekuat
dulu. Tertatih-tatih, jatuh bangun meraba gelap, menyusuri jalan penuh rintangan bersama ember
dan obor yang dipegangnya erat, seperti
tentara perang yang terluka berlari terbirit-birit dengan tameng dan tombak
ditangannya.
Lama kutunggu ibu takkunjung jua
datang. Jarum jam sudah menunjuk pada angka enam waktunya aku berangkat
sekolah. Tapi, aku lapar dan juga belum mandi. Teman-teman pasti mengejekku.
Bau lo…!. Aku susul ibu kesumur sa’dan. Setiap bertemu orang aku bertanya pada
mereka. “Dimana ibu?”. Namun, tak ada seorang pun diantara mereka yang tahu.
Setibanya disumur ibu pun juga tidak ada. Aku teriak sekuat pita suaraku. Namun,
tak ada sautan sama sekali. Entah dimana
ibu. Kupalingkan tubuhku. Bersama derap langkah yang linglung kubawa pulang
rasa cemas ini.
Tiba aku diseperempat jalan. Mataku
tertuju pada kerumunan orang dihalaman rumahku. “Ada apa ini, mengapa banyak
orang, apa ada pesta dirumahku?. Mungkin saja ibu memberikan surprise untukku,
hari ini kan hari ulang tahunku”. Aku melangkah mendekat. Lalu kusobek
kerumunan orang yang melingkar pada satu titik pusat ditengahnya. Ah…! Ada
manusia berbaring kaku, wajahnya pucat dan disekujur tubuhnya penuh luka-luka seperti bekas
gigitan binatang buas. “Siapa dia?”. Kucoba mendekatinya dan kuperhatikan wajah yang pucat
dan tercabik-cabik itu. Dan ternyata, dia adalah ibu.
“Ibu…! Ibu…! Ibu…!. Benarkah ini
ibuku?” kubertanya pada setiap orang yang ada dirumahku. Mereka hanya
mengangguk, tak sekata pun keluar dari bibir mereka. Mengangguk bererti benar.
“Tidak…!”. Kupeluk tubuh ibu yang
terbujur kaku diatas rajutan jerami tua itu.
“ Ibu, belum sempat aku membalas
kebaikan ibu dan juga belum sempat kupenuhi janjiku untuk membebaskan
penderitaan ibu. Tapi, mengapa ibu pergi?”.
Pelukan dingin semalam ternyata untuk yang
terahir kalinya, dan apa yang kutakutkan selama ini benar-benar terjadi. Mimpi
itu benar-benar menjadi nyata.
The end
Penulis adalah,
Mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 Response to "IBU"
Post a Comment