Ada Kisah Di Balik Tatap Mata
Oleh : Hariyono Nur
Kholis*
Laila. Ya, Laila. Gadis desa yang dilahirkan
dalam dunia pesantren, namun gadis itu sejak berumur sembilan tahun telah hidup berpisah lantaran pamannya membawahnya untuk
menuntut ilmu di kota. Dan
kini gadis itu tumbuh dewasa setahun sudah dia menjadi mahasiwa disebuah
uneversitas terkenal dikota yang ia tinggali sama pamannya.
Dan kebutulan laila dititipakan oleh pamannya di sebuah
pesantren Terkenal di Jogja.
dimana disampang ia belajar ilmu umum dia juga mampu memahami ilmu agama yang
di pelajari di pondoknya kini.
Sebagaimana pesantren-pesantren lainnya, para santri Krapyak
kebanyakan orang menyebutnya, di
bentuk juga, yang namanya
aturan-aturan yang dibuat langusng oleh pengasuh. Maka tentu semua santri yang mondok wajib mematuhi aturan-aturan atau
undang-undang yang telah ditetapkan oleh pengasuhnya. Barang siapa yang
melanggar aturan-aturan tersebut, maka sangsi untuk para santri yang melanggar
tak bisa dielakkan. Bahkan ada pula yang sampe dikeluarkan dari pesantren.
Seperti pesantren pada umumnya,antara asrama putra dan putri pada terpisah oleh tembok yang ketinggiannya
menyerupai rumah tahanan. Karena itulah, jangankan berkomunikasi, melihat
santri lawan jenisnya saja sungguh satu hal yang tidak mungkin. Dan jika ada
santri yang ketahuan menjalin hubungan asmara, maka konsekwensinya santri tersebut harus siap dikeluarkan dari
pesantren.
Meskipun begitu
ketatnya aturan ,namun tetaplah bisa dilanggar. Yang melanggar
aturan-aturan tersebut tentunya bukanlah santri yang biasa-biasa saja. Biasanya
ia adalah santri yang memiliki aktifitas di ndalem pengasuh atau santri
kepercayaan pengasuh. Semisal Laila. Laila bisa saja melanggar aturan pesantren
karena ia begitu dekat dengan pembuat aturan.
Dan Sanusi adalah santri putra yang selalu menatap wajah Laila lewat celah
pintu pagar putra. Hal itu Sanusi lakukan di setiap pagi, saat Laila menyapu di
halaman ndalem.
Aturan-aturan pesantren yang menakutkan bagi para santri ternyata tak membuat
nyali Sanusi ciut untuk selalu mengintip Laila. Sanusi merasa tenang setiap
kali menatap mata Laila. Dan tak seorang pun yang dapat memisahkan Sanusi
dengan cintanya, termasuk pagar pesantren yang menjadi penghalang dan
menghalangi ia dengan cintanya, Laila.
Sudah sekian lama Sanusi memendam perasaannya sama Laila. Dan ia sudah tidak
kuat lagi memendamnya. Sanusi berencana untuk mengirimi Laila surat cinta.
Sanusi sadar betul apa yang akan terjadi jika surat cintanya itu terbaca sang
pengasuh. Tapi, begitulah cinta, “Lebih baik di hukum, daripada cintanya tak
tersampaikan,” ungkap Sanusi ketika hatinya tak mampu lagi menahan getaran sejuta
rindu dan bait kata-kata di dadanya.
“Kenapa langsung kirimin surat? Apakah dia sudah mengetahuimu?” Tanya Affan, teman satu kamar Sanusi.
Sanusi hanya bisa diam. Seakan berpikir seribu kali, kembali ia tatap pada satu
sambul surat cinta yang terselip di jari
tangannya.
“Sadarkah kamu, Si. Bagaimana seandainya surat itu
tertangkap oleh Pak Kyai!? Apakah kamu siap menerima hukumannya!?” Syaiful
mengingatkan.
“Cinta butuh perjuangan. Dan cintaku harus diperjuangkan,”
jawab Sanusi mendongakkan kepala dengan jiwa penuh kepercayain diri yang besar.
Bagai bias cahaya petir dilangit, seketika itu juga kata-kata
Sanusi membuat semua teman-temannya diem sejuta kata dan seribu bahasa. Teriring
rasa khawatir tergambar pada tatapan teman-temannya. Mereka khawatir karena
hukuman yang dijatuhkan pengasuh pada Sanusi tidaklah ringan.
“Apakah diantara kalian ada yang kenal salah satu teman
Laila?” tanya Sanusi pada teman-temannya yang tetap membisu.
“Setahuku, Laila itu selalu bersama Nurul,” ungkap salah satu dari teman
Sanusi memecah sedikit kebisuan yang terjadi.
“Bagaimana kalau suratmu itu dititip ke Nurul?” usul Affan.
“Di mana aku bisa bertemu dengan Nurul?” tanya Sanusi.
“Biasanya, setiap selesai pengajian, Nurul menyempatkan diri membeli nasi
kucing di Angkringan Pak Abdullah. Bagaimana kalau besok, sehabis
pengajian, kamu temui Nurul di situ?” usul Syaiful.
“Baiklah, besok aku akan temui Nurul di sana,” jawab Sanusi
sembari melipat surat yang ia pegang lalu disimpan kembali dalam saku kemejanya.
* * *
Keesokan harinya, sehabis pengajian dan bersih-bersih
halaman, Sanusi pergi ke Angkringan Pak Abdullah dengan maksud menemui Nurul.
kira-kira setengah jam lebih Sanusi ada di Angkringan, tetapi Nurul masih juga
belum kelihatan. Kalau berlama-lama disana, Sanusi khawatir Pak Abdullah dan
orang-orang yang sering nongkrong di Angkringan itu curiga.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seiring udara segar berembus, Nurul
datang juga. Sanusi cukup senang, sekaligus bercampur bingung, sebab ia tidak
tahu, bagaimana caranya bisa menyapanya untuk diajak ngombrol sama Nurul.
Jangankan berbicara tentang surat, kenal saja sebelumnya tidak!. Tetapi dengan
keberanian atas keyakinan hati yang luar biasa, Sanusi mendekati dan
menyapanya. Sebelum mendekati, sepasang mata Sanusi melirik ke kanan-ke kiri,
memastikan tak ada orang yang melihat. Dengan penuh keberanian dan suara yang
meyakinkan Ia memanggilnya
“Nurul.”
Betapa terkejutnya Nurul, ketika ada seseorang yang
memanggilnya.
“Kamu Nurul kan!?” Tanya Sanusi, sambil matanya melirik ke
kanan-ke kiri.
“Iya, betul.”
“Aku Sanusi, teman satu kamarnya Syaiful.”
“Ooo... Syaiful anak Jogja itu?”
“Iya betul.”
“Ada apa?”
“Kamu teman akrabnya Laila kan?”
“Iya, benar.” Nurul diam sejenak. Dia bertanya pada dirinya,
apakah laki-laki yang ada di depannya sekarang, laki-laki yang membuat Laila
selalu tidak bisa memejamkan mata.
Pernah suatu hari Laila bertanya pada Nurul, “Apakah cinta
harus saling memiliki?”
Dan Nurul menjawabnya dengan kata-kata yang sebelumnya tidak
pernah di dengar oleh Laila, “Ada apa dengan kamu, Laila? Kenapa kamu bertanya
tentang cinta? Apakah sekarang kamu sedang jatuh cinta? Kalau iya, siapakah
laki-laki yang kamu cintai itu?”
“Aku juga tidak mengerti, apakah yang kurasakan ini adalah
cinta? Laki-laki itu membuat mataku tidak bisa dipejamkan. Dia yang selalu
menatapku, ketika aku menyapu di halaman ndalem Pak Kyai,” Laila menjelaskan.
“Nurul,” sapa Sanusi membuyarkan Nurul dari lamunannya.
“E, iya. Maaf,” jawab Nurul kikuk.
Karena merasa malu, Nurul melanjutkan pembicaraan yang mulai tadi
diperbincangkan. Dalam perbincangan itu, Nurul bercerita banyak hal tentang
Laila. Tentang kehidupannya, sampai dengan perasaan Laila yang terpendam.
Begitu juga dengan Sanusi, yang menceritakan tentang perasaannya pada
Laila.
Karena matahari sudah mulai surut, dan takut orang-orang
curiga, Sanusi pamitan pada Nurul. Tapi sebelum pergi, Sanusi mengeluarkan
surat dari gulungan sarungnya dan menyerahkan surat itu pada Nurul. Nurul sudah
tahu dan mengerti pada isi, dan untuk siapa surat itu harus diberikan.
Ditaruknya surat itu di sebuah buku kecil yang biasa ia bawa.
Nurul tidak lama-lama di Angkringan Pak Abdullah. Setelah selesai membeli, seperti
sedia kalah ia langsung pulang ke pondok. Nurul sudah tidak sabar, ingin
mengabarkan kabar gembira kepada Laila. Karena saking senangnya, Nurul tidak
merasa kalau surat yang ia taruk di dalam buku kecilnya itu terjatuh tidak jauh
dari Angkringannya Pak Abdullah.
Dan betapa terkejutnya Nurul, ketika surat yang ada di dalam
buku kecilnya itu tidak ada. Nurul kembali lagi ke Angkringan itu untuk mencari
surat yang hilang. Di jalan, mata Nurul melirik ke kanan-ke kiri, berharap surat
itu masih ada.
Antah berapa kali Nurul bolak-balik di jalan itu, tapi surat
itu belum juga ditemukan. Karena hari sudah mulai malam, Nurul terpaksa kembali
ke Pondok untuk bersiap mandi dan shalat berjama’ah. Dan dalam lubk hatinya Ia berharap,
tidak ada yang menemukan surat itu. Besok pagi, berencana setelah selesai ajian
kitap, ia akan mencari surat itu lagi.
* * *
Matahari sudah mulai sedikit menampakkan dirnya di balik pepohonan.
Diantara tangkai-tangkai poho, burung-burung hinggap dari ranting ke ranting dan
bersiul-siul. Orang-orang di sepanjang
jalan kota mulai banyak yang beraktifitas. Sementara di Pesantren, para
santri sibuk mendengarkan, menyimak dan mempelajari kalimat dan lembar demi
lembar kitab yang ia kaji.
Berbeda dengan Laila, ia mengurung diri di dalam kamar.
Begitu pula yang terjadi pada Sanusi, di dalam kamarnya ia juga di landa resah
gelisah tiada tara.
“Si...! Sanusi,” teriak salah seorang dari luar
kamar.
Sanusi terkejut. Sanusi sendiri tidak tahu, siapa seseorang
yang memanggilnya itu.
“Jangan-jangan pengurus,” tebak Sanusi.
“Siapa?” teriak Sanusi sedikit lantang.
“Aku, Affan.
Cepat buka pintunya.”
“Ada apa, Fan?”
Tanya Sanusi, sambil lalu membuka pintu.
“Kamu dipanggil Pak Kyai.”
“Ada apa? Apakah Pak Kyai tahu kalau aku tidak ikut
pengajian?” tanya Sanusi agak ketar-ketir.
“Tidak tahu.”
“Siapa saja yang dipanggil?” Tanya Sanusi, penasaran.
“Laila.”
“Laila?”
“Ya, hanya kalian berdua yang dipanggil,” setelah itu Affan kembali pergi.
* * *
Betapa terkejutnya Laila ketika ia diminta menghadap pengasuh di ndalem-nya.
Karena sejak mondok di pesantren ini, ia tidak pernah dipanggil pengasuh.
Apakah karena tidak ikut pengajian, sehingga ia disuruh menghadap. Tidak
mungkin. Buktinya kemaren, ada salah satu teman satu kamar Laila yang tidak
ikut pengajian, tapi tidak dipanggil.
Dengan jantung dag-dig-dug, Laila berangkat ke ndalem pengasuh.
Setelah sampai di depan pintu ndalem pengasuh, Laila mengetuk pintu itu,
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab Kyai sembari membuka pintu
lebar-lebar.
Betapa terkejutnya Laila, ketika melihat Sanusi juga ada di
ruangan itu. Laila tidak mengerti kenapa Sanusi juga ada di situ. Laila salah
tingkah. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi ia berusaha untuk bersikap
tenang.
Meskipun dalam satu ruangan, Laila dan Sanusi dicengkram
kebisuan. Hanya melalui tatapan mata, keduanya ungkapkan rasa.
Ruangan itu senyap, sunyi. Yang terdengar hanyalah suara Al-Qur’an, yang
berasal dari ruang belakang. Suara itu merdu. Entah siapa yang melantunkan ayat
suci itu. Mungkin anak dari keluarga Dhalem Pesantren
Tak lama setelah itu, Kyai Rusdyi datang dari ruang belakang dengan memegang
dua lembar kertas.
“Sanusi, apakah kata-kata yang ada dalam kertas ini
kata-katamu?” tanya Kyai, sambil memperlihatkan dua lembar kertas yang
dipegangnya.
Dengan kepala menunduk, Sanusi menjawab, “iya, benar, Pak
Kyai.”
“Apakah kamu punya perasaan sama, Laila?”
“Benar, Pak Kyai. Saya memang mencintai Laila,” jawab Sanusi
sambil lalu mengusap keringat yang membasahi wajahnya. “Tetapi niat saya baik,
Pak Kyai,” tambahnya.
Setelah mendengar penjelasan Sanusi, Pak Kiyai melempar pandangannya pada Laila,
dan bertanya, “Laila, apakah perasaanmu sama, dengan perasaan yang dirasakan
Sanusi padamu?”
Laila diam, tak satu pun kata keluar dari mulutnya.
Kata-katanya terbendung oleh ketakutannya. Apabila berkata yang sebenarnya,
Laila takut Pak Kyai marah. Dan jika tidak mengungkapkan perasaan
yang dirasakannya, ia takut Sanusi pergi, dan jauh dari dirinya. Dengan sangat
terpaksa, Laila menjawab pertanyaan yang ditanyakan Kyai, “Aku juga mencintai
Sanusi, Kyai.” Sambil mengusap air yang berlinang di sepasang matanya, Laila
berkata, “maafkan saya, Kyai, karena saya telah melanggar aturan pesantren
ini.”
Tanpa menanggapi penjelasan Laila, Pak Kyai berkata, “Aku sudah mendengar
penjelasan kalian. Dan karena kalian berkata jujur, aku akan mengizinkan kalian
berhubungan. Tetapi dengan satu syarat, rahasia ini hanya kita bertiga yang
tahu. Dan kalau sampai rahasia ini bocor, aku tidak akan pernah mengakui kalian
sebagai muridku, juga ilmu yang aku ajarkan selama ini tidak akan aku ridhai.”
Laila dan Sanusi terkejut mendengar kata-kata Kyai . Sanusi
dan Laila tidak percaya, Kyai memperbolehkannya berhubungan. Di pesantren
manapun, tidak ada yang namanya Kyai memperbolehkan santrinya berhubungan,
kecuali hubungan yang sebelumnya memang sudah ada ikatan. akhirnya.
Sanusi menatap tatapan mata Laila. Dan Laila juga menatapnya.
Dalam tatap mereka,
ada cerita syurga mengalir didalamnya.
Hariyono Nur
Kholis*. Lahir di Sumenep, sebuah kota kecil
di ujung timur pulau Madura. Mahasiswa
Komunikasi Dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kini bergiat di Komunitas Sastra Celurit Rembulan dan karya puisinya terkumpul
dalam antologi bersama “Kidung Malam” (2010) dan "Memory Surabaya" (2016).
0 Response to "Ada Kisah Di Balik Tatap Mata"
Post a Comment