Makalah Hadits




BAB 1
PENDAHULUAN
Oleh : Hariyono Nur Kholis
A.LATAR BELAKANG
Sebagai umat islam kita mengenal berbagi sumber rujukan hukum dalam menjalankan ritual keagamaan, seperti halnya al quran yang menjadi rujukan utama dan menjadi ketetapan yang tidak dapat ditentang atau dirubah karena merupakan ketetapan qot’i, kemudian hadis yang merupakan perkataan perbuatan atau ketetapan nabi, yang menjadi rujukan hukum yang kedua setelah al quran,  ketika al quran tidak dapat menjelaskan suatu hukum kemudian hadis berperan sebagai penjelas, selanjutnya beberapa ulama menggunakan ijma dan qiyas dalam merumuskan hukum.
Ketika berbicara hukum ada ketentuan ketentuan yang harus dipahami terutama yang menyangkut tentang hadis, seperti telah kita ketahui banyak yang menggunakan atau menafsirkan hadis untuk kepentingan mereka atau golongan tertentu yang mana itu sangat berefek kurang baik bagi umat atau masyarakat awam, untuk itu kita sangat perlu untuk mengetuhi pemetaan pemetaan hadis agar tidak terjadi kesalah pemahaman tentang hadis. Dengan adanya hal hal tersebut maka kami menulis tentang macam macam hadis, makalah ini menulis tentang hadis shohih hadis tertinggi, hadis hasan, dan hadis dhoif hadis terendah dalam tingkatan hadis.

B.RUMUSAN MASALAH
Bagaimana mengetahui perbedaan hadis sohih, hadis hasan, hadis dhoif dan keberadaanya?
C.TUJUAN
1.         Untuk mengetahui perbedaan hadis sohih, hadis hasan, hadis dhoif
2.         Untuk mengetahui fungsi hadis sohih, hadis hasan, hadis dhoif



BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perkembangan ilmu hadis, hadis terbagi menjadi tiga macam yaitu hadis sohih, hadis hasan, hadis dhoif[1]. Dimana ada ketentuan ketentuan tersendiri kenapa ada pengklasifikasian dalam hadis, untuk lebih jelasnya kita jabarkan satu persatu macam macam hadis tersebut,

A.    Hadis Shahih
1.      Pengertian Hadis Shahih
         Shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihu, shuhhan, wa shihhatan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai antonym atau lawan kata dari as-saqim (orang yang sakit). Maka kata shahih menurut bahasa, berarti hadis yang sah, hadis yang sehat, atau hadis yang selamat.
         Hadis shahih adalah hadis yang bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak cacat (illat).[2]
         Al Qosami, hadis shahih ialah “Hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
         Al-‘iraqi juga mengemukakan definisi yang hamper sama akan tetapi dalam dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan menambahkan kata-kata lainnya, yaitu: pertama, pada ke-dhobita-nya ia menyebutkan dhabith al-fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan). Ini berarti bahwa Al-‘iraqi lebih menekankan kekuatan menghafal hadis, yang berbeda dengan dhobit al kitab, dan kedua, pada illat, Al-‘iraqi menyebutkan illat qodihah (illat yang merusak atau mencacatkan)[3]
         Definisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
         Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
         Dari beberapa devinisi tersebut, ada beberapa hal yang patut diperhatikan[4].
ü  Hadits shahih adalah hadist yang musnad, sanadnya bersambung sampai yang teratas. Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
-          Mencatat semua periwayat yang diteliti,
-          Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
-          Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
ü   Hadits Shahih bukan hadits yang syadz. Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Rawi yang meriwayatkan memang terpercaya, tetapi ia menyalahi rawi-rawi lain yang lebih tinggi.
ü  Hadits shahih bukan hadits yang terkena illat.  Dalam artian  hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat. ‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Hanya saja, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
ü  Seluruh tokoh sanad dalam hadis shahih bersifat adil dan cermat. Apabila seseorang diantaranya kehilangan salah satu sifat adil atau sifat cermat, maka hadisnya bisa dianggap dhaif dan tidak shahih lagi.
ü   Perowinya bersifat dhobith. Dalam artian masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan). Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:
-          kesaksian para ulama
-          berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
2.      Pembagian hadits Shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih al-dzatih dan  shahih li ghairih, berikut penjelasannya :
ü  Hadits  Shahih li Dzatihi
            Merupakan hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan kedua, maka hadits tersebut dinamakan hadits hasan.
            Contoh hadit shahih li dzatihi.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepadakami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah,aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat  pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungandari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.” (HR. Bukhari)
ü  Hadits Shahih Li Ghairih
            Merupakan hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits li ghairih. Dengan demikian shahih li ghairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih.[5]
            Contoh haditts shahih li ghairih
Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah)
Ibnu ash-Shalah rahimahullah berkata:”Maka Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan kehormatan. Akan tetapi ia bukan termasuk orang yang matang (dalam hafalannya, ed), sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia dha’if (lemah) dari sisi buruknya hafalannya. Dan sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia tsiqah (kredibel) dikarenakan kejujurannya dan kehormatannya. Maka haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka ketika digabungkan kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa yang kita kita khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan hal itu kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.”(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah)
B.     Hadits Hasan
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits  pamayoritas para ahli hadits muta’akhirin didalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Musa At-Tirmidzi, istilah hadits hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadits belum dikenal dikalangan para ulama hadits.
            Pada masa itu hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits sahih dan hadits dhaif. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam pengklasifiakasian hadits, pada masa ini hadits bila ditinjau dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits  sahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah didalam kitab majmu fatawa, beliau menjelaskan:
                   Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian sahih , hasan dan dha’if adalah abu Isa At- Tirmidzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Tirmidzi dikalangan ulama hadits pembagian tiga kualitas hadits ini tidak dikenal oleh mereka hanya membagi hadits itu menjadi sahih dan dhaif[6].
Dengan demikian, pemakaian istilah hasan dalam mengklasifikasikan suatu hadits berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh guru-guru imam turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat. Dengan demikian terbantahlah pendapat imam ibnu taimiyah yang mengatakan bahwa imam tirmidzi sebagai orang yang memperkenalkan istilah hadits hasan
1.      Pengertian hadits Hasan
Hasan berasal darai kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan terhindar dari keganjilan serta penyakit.[7]
Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.1
At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.
Dari beberapa keterangan tersebut, kita bisa menyederhanakan bahwa hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun Illat di dalamnya. Inilah contoh hadits hasan.
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan At-Turmudzy, 6: 417)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.[8]
Syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yakni ada lima hanya saja tingkat kedlobitanya berbeda.
ü  Sanadnya bersambung,
ü  Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih,
ü  Dlobith,
ü  Tidak ada illat,
ü  Tidak ada syadz,
2.      Pembagian hadits hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: Hasan Li Dzath (Hasan dengan sendirinya) dan Hasan Li Gairih.
ü  Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yaitu karena mutahaditsnya dan para perawinya memenuhi  syarat-syarat hadits shahih akan tetapi  terdapat salah seoarang dari perwainya yang kurang dhabit.
Contoh:
(Turmudzi berkata) telah menceritakan kepada kami abu kuraib, telah menceritakan kepada kami, abdah bin sulaiman, dari Muhammad Bin Amr, dari abi salamah, dari abi hurairah , ia berkata: telah bersabda rasulullah SAW: jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak disetiap waktu shalat.
Hadits diatas jika digambarkan sanadnya seperti dibawah ini:
- Tirmidzi
- Abu kuraib
- Abdah bin sulaiman
- Muhammad bin amr
- Abi salamah
- Abi hurairah
- Rasulullah SAW
  Jika diteliti sanad ini, dari tirmdz  hingga sampai kepada nabi, sanad ini bersambung, taitu tiap-tiap seorang mendengan atau mendapat langsung dari yag lain. Semua rawi diatas merupakan para perawi yang adil dan dhabith, kecuali muhammad bin amr, beliau adalah seorang yang adil akan tetapi kedhabitanya kurang, karena lemah hafalanya, pun begitu juga hadits tersebut tidak ada syu-dzudz dan illahnya, oleh karena terdapat salah seorang perawi  yang kurang dhabit dalam hafalan maka hadits ini dinamakn hadits hasan lidzatihi.[9]
ü  Hadits Hasan li ghirihi
Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dha’if yang menjadi hasan karena dibantu dari jalan lain. Dimana kedhoifanya tidak disebabkan karena fasik dan pendustanya seorang perawi. Sehingga dari definisi ini diperolehlah sebuah pemahaman bahwa hadits dho’if akan naik derajat menjadi hadits hasan li ghoirihi dengan adanya dua hal yaitu:
- Diriwayatkan  dari jalan lain atas dasar jalan lain tersebut lebih kuat
- Sebab dho’ifnya  dikarenakan lemahnya hafalan perawi hadits atau terputus sanadnya.
Adapun tingkatanya hadits hasan lighoirihi lebih rendah tingkatanya dari pada hadits hasan li dzatihi. Contoh hadits hasan li gharihi
(Turmudzi berkata) telah menceritakan kepada kami  Ahmad Bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abi Abdirrahman bin Abi Laila, dari Bara’ bin Azib , ia berkata: telah bersabda rasulullah SAW: Sesungguhnya  satu kewajiban  atas orang-orang islam adalah mandi pada hari jum’at.
Dari hadits diatas jika sanadnya digambarkan, seperti dibawah ini:
- Turmudzi
- Ahmad Bin Mani’
- Husyaim
- Yazid bin Abi Ziyad,
- Abi Abdirrahman bin Abi Laila,
- Bara’ bin Azib
- Rasulullah SAW
Dari masing-masing perawi yang ada pada sanad ini, semua teramasuk dalam kategori perawi yang terpercaya kecuali Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena hal ini maka sanadnya dianggap lemah. Namun dibantu dari jalan lain dengan riwayat turmudzi juga yaitu :
- Turmudzi
- Ali Bin Hasan Al-Kufi
- Abi Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi
- Yazid bin Abi Ziyad,
- Abi Abdirrahman bin Abi Laila,
- Bara’ bin Azib
- Rasulullah SAW
Para perawi sanad ini semuanya adalah terpercaya kecuali Abi Yahya, seorang yang teranggap lemah, tetapi boleh diterima hadits yang ia riwayatkan. Karena alasan inilah bahwa sanad hadits yang pertama dibantu dengan sanad yang kedua, maka sanad yang pertama itu dinamakan hasan lighairihi.[10]
C.    Hadits Dhaif
Hadits dhaif menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Hadits yang padanya tidak terdapat cirri-ciri hadits shahih atau hadits hasan. Beberapa ahli hadits ada yang mencoba menghimpun bentuk-bentuk logis bermacam hadits dhaif yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Ternyata bisa terhimpun sebanyak 381 macam bentuk, yang kebanyakan tidak actual dan tidak menunjukkan cirri-ciri tertentu diantara banyak macam hadits  dhaif yang diistilahkan oleh para penekun ilmu ini.[11]  Hadits daif dalam kontek ini mempunyai banyak ragam bentuk dan istilah. 
1.      Pengertian hadits Dhaif
Pengertian hadits dhaif secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih.   dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan. jadi, hadits dhaif adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shohih atau yang hasan. Beberapa sebagian ulama menganggap bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Ada juga yang menggangpa hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Ada beberapa kreteria atau cirri khadis dhaif.
ü  Sanadnya tidak bersambung
ü  Kurang adilnya perawi
ü  Kurang dhobithnya perawi
ü  Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
ü  Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.
2.      Macam Hadits Shaif
Pada dasarnya mempunyai banyak macam, tapi kami disini hanya menyebutkan dua saja, yakni hadist dhaif hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya serta hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
ü  Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, apakah itu pada permulaan sanad, atau pun pada pertengahan atau akhirnya.
Contoh;
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in[12].
ü  Hadis karena cacat pada matan atau rawi.
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.








BAB III
KESIMPULAN

Hadis shahih menduduki tingkatkan tertinggi atau terkuat untuk digunakan sebagai hujjah dalam suatu hukum sedangkan Hadis hasan menempati urutan yang kedua  dengan syarat-syarat tertentu yang sudah djelaskan datas, dan hadis dhoif adalah hadis terlemah kegunaanya tetapi tidak menutup kemungkinan hadis dhoifpun bisa digunakan sebagi landasan hukum dengan syarat-syarat tertentu. Dengan mengetahui ilmu hadis terlebih pembagian hadis ahad yang kita kaji lebih mendalam yaitu hadis shahih, hasan, dha’if kita dapat mengetahui kedudukan sebuah hadis yang dapat diamalkan dalam peribadatan maupun hadis yang tidak atau kurang kuat kedudukanya untuk diamalkan.
Tentu semua ini akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasai nafsiyah(sikap) keimanan dan ketaqwaan yang baik, termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hannyalah berisi sebagian kecil saja.



DAFTAR PUSTAKA
Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, ter, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Drs.Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2.(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997
Utang Ranuwijaya, ilmu hadis, gaya media pratama, Jakarta, 1996,)
M.Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits. (Bandung :Pustaka Setia,2010)
Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah XVII: 23 & 25) yang juga dikutip oleh Ahmad Ihsan Dimyati, Studi Hadits, (Program Studi Pendidikan Islam Program pasca Sarjana Sekolah tinggi agama islam negeri Jember, 2011)
Lihat Muhammad Thohan, Taisir Mushthalah Hadits, ( Jakarta: Daru Al-Hikmah. 2005
Wabsite























[1] Pada mulanya hadits itu terdiri dari yang diterima (shahih) dan yang ditolak (dla’if). Itulah pembagian secara garis besar. Tapi para ahli hadits membagi hadits ke dalam tiga bagian; hadits shahih, hasan dan dla’if.  Lebih lanjut lihat Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, ter, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm139-141
[2] Drs.Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2.(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 2
[3] Utang Ranuwijaya, ilmu hadis, gaya media pratama, Jakarta, 1996,) hlm 155-157.
[4]Dr. Subhi As-Shalih, ibid, hlm. 141
[5] M.Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits. (Bandung :Pustaka Setia,2010), hlm. 144
[6] Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah XVII: 23 & 25) yang juga dikutip oleh Ahmad Ihsan Dimyati, Studi Hadits, (Program Studi Pendidikan Islam Program pasca Sarjana Sekolah tinggi agama islam negeri Jember, 2011)
[7] Dr. Subhi As-Shalih, Opcit, hlm. 151
[8] Ahmad Ihsan Dimyati, Studi Hadits, (Program Studi Pendidikan Islam Program pasca Sarjana Sekolah tinggi agama islam negeri Jember, 2011)

[9] Ahmad Ihsan Dimyati, Studi Hadits, (Program Studi Pendidikan Islam Program pasca Sarjana Sekolah tinggi agama islam negeri Jember, 2011)
[10] Lihat Muhammad Thohan, Taisir Mushthalah Hadits, ( Jakarta: Daru Al-Hikmah. 2005), hlm. 52
[11] Dr. Subhi As-Shalih, Opcit, hlm. 159
[12] http://hpakalbar.wordpress.com/kumpulan-makalah-hadist-shohih-dan-hasan/

Subscribe to receive free email updates: