Tradisi Budaya Madura Sebagai Pendekatan Komunikasi Antar Budaya
Oleh : Hariyono
Nur Kholis

Yang
paling
saya sukai adalah orang tua
saya tidak pernah melarang saya menonton kesenian-kesenian tersebut, bahkan malah memotivasi saya untuk ikut serta bareng temen-temen untuk menyaksikan acara kesinaan tersebut dengan menyediakan uang karcis, uang jajan,
dan seorang pendamping yang umurnya lebih dewasa dari saya karena pasti pulang
larut malam setiap kali nonton. Jika diperkirakan pulang larut malam dan tempat
pertunjukan agak jauh dari rumah, pendamping saya tak lupa membawa kalarè (daun
kelapa kering) ,senter dan obor. Seusai pertunjukan, dia —seorang ibu-ibu
tetangga saya— membakarnya sebagai obor sepanjang jalan pulang. Sepanjang jalan
pulang, rasa senang kami tidak begitu saja sirna dimana para orang tua dan ibu-ibu dengan senang hati mengulang atau menirukan beberapa bagian
adegan pertunjukan yang baru saja kami tonton, yang bagi saya kadangkala lebih
menyenangkan dibanding pertunjukan yang sebenarnya. Demikianlah saya menikmati
kesenian tradisi Madura, meskipun dalam banyak hal tidak paham betul apa
isinya. Namun tradisi tersebut mampu menarik masa bahkan menjadi penyambung
jiwa solidaritas antar penduduk desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Meskipun
terkadang saya terbesit dalam pikiran ternyata, kesenian tradisi Madura ini
ternyata tidak berjalan “mulus” dan banyak kalangan yang tidak secara terbuka
menerimah secara lapang dada tradisi
yang ada. Sebab kebanyakan jenis-jenis
kesenian ini sebenarnya kurang diinginkan dan cenderung dihindari. Bagi
keluarga kami, jenis-jenis kesenian yang ada di Madura ini ternyata merupakan
sesuatu yang sedikit-banyak bersifat “asing” dan tidak seiramah dengan
ajaran-ajaran dan norma-norma dalam islam yang
mayoritas mansyarakat Madura adalah beragama islam. Meskipun orang tuan
saya tak pernah melarang, untuk menyaksikan pertujukan budaya Madura, namun Dari pembicaraan dan sikapnya beliau, menilai
tradisi tersebut seperti halnya, ludruk,
wayang, dan tandha’. bukanlah jenis-jenis kesenian yang dianjurkan oleh syariat
islam .karena katanya didalamnya tidak mengandung ajaran-ajaran al-quran dan
hadits lain halnya dengan kesenian
hadrah, samroh, atau samman, yang terasa tradisi tersebut lebih diterima dalam
keluarga kami khusunya dan masyarkat sekitar umumnya.
Bagi
saya, pengalaman masa kecil ini ternyata merupakan miniatur atau puncak gunung
es dari polarisasi dan psiko-sosial kesenian dalam masyarakat Madura secara
umum. Pertalian kompleks antara Islam, kesenian, dan pola hubungan sosial di
Madura merupakan perkembangan dari sistem simbol yang dianut oleh masyarakat
Madura sendiri. Jika Islam merupakan sistem simbol melalui mana masyarakat
menemukan personifikasinya pada ulama lokal sebagai lembaga yang mengatur dan
mempersatukan jalinan sosial yang terpencar-pencar, maka kesenian dalam batas
tertentu juga berfungsi sebagai sistem simbol yang melembaga sebagai faktor
yang mempersatukan diversifikasi sosial. Tetapi, karena masyarakat Madura bagaimanapun
menerima Islam sebagai sistem kepercayaan, dan proses islamisasi terus
berlangsung di tengah masyarakat, maka secara umum masyarakat Madura cenderung
mensubordinasi kesenian.
Perkembangan kesenian dan masyarakat
(kesenian) di Madura bersifat unik, yang secara mikro terlihat pada pengalaman
masa kecil saya tadi, dan secara makro akan kita lihat dalam perkembangannya
dewasa ini. Secara makro pula kita akan menelusuri aspek-aspek historisnya di
masa silam, di mana polarisasi masyarakat (kesenian) dewasa ini merupakan
dampak-lanjutan dari konfigurasi sosial keagamaan dan kolonialisme, dengan
ulama lokal sebagai institusi sentrumnya. Sudah tentu dalam perjalanannya yang
panjang telah terjadi pergeseran dan perubahan polarisasi masyarakat kesenian
di Madura, yang —seperti akan kita lihat nanti— bersinggungan dengan proses
islamisasi di Madura sendiri secara umum. Namun, paling tidak dalam jangka
pendek dan menengah, polarisasi itu tampaknya bersifat permanen, karena
islamisasi di Madura lebih berupaya menawarkan alternatif terhadap kebudayaan
Madura, bukan mengisi dan memperkaya kebudayaan yang ada. Kecenderungan
islamisasi seperti itu menyisakan sekat psiko-sosial masyarakat kesenian,
apalagi Islam cenderung mensubordinasikan kesenian itu sendiri.
**) Hariyono Nur Kholis,
Lahir di Sumenep, 15 Juli 1993, sebuah
kota kecil di ujung timur pulau
Madura. Saat ini sedang melanjutkan Study UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
0 Response to "Tradisi Budaya Madura Sebagai Pendekatan Komunikasi Antar Budaya"
Post a Comment