Tradisi Budaya Madura Sebagai Pendekatan Komunikasi Antar Budaya

Oleh : Hariyono Nur Kholis
Saya lahir dari keluarga yang beragama  (Islam) dan tumbuh di sekitar  lingkungan pesantren di Madura, saya juga menyukai kesenian tradisi Madura sejak kecil.Ketika usia saya kira-kira 5 tahun, diaman kala itu saya  suka sekali nonton pertunjukan budaya antara lain seperti  ludruk, topeng, dan tandha’, misalnya. Dimana terkadang  pertunjukan tandha’ biasanya hanya diadakan pas dalam pesta perkawinan saja, namun kalau pertunjukan ludruk dan topeng dulu sering diadakan di Lapangan (alun-alun) Sumenep,yang lokasinya t idak jauh dari rumah orang tua saya kira-kira perjalanan setengah jam. Pertunjukan itu biasanya berkarcis. Sekeliling lapangan ditutup dengan saksak (rajutan bambu berukuran kira-kira 80 cm x 2,5 m  yang biasanya benda itu untuk menjemur tembakau) setinggi kira-kira 2,5 meter. Karcis bisa dibeli di loket-loket yang tersedia. Tentu, hanya orang yang memiliki karcis yang boleh memasuki lapangan. Orang di luar lapangan tidak bisa menyaksikan pertunjukan, meskipun tentu saja bisa mendengarkannya karena setiap pertunjukan pastilah menggunakan pengeras suara atau  sonsistem Corongan madara. Ada kalanya pertunjukan kesenian diadakan juga di tempat-tempat lain di sekitar, rumah tetanggah.tontonan tersebut gratis dan otomatis ketika kita nonton acara tersebut kita akan dapat hidangan kopi dan jajan dari tuan rumah sebab bagi orang Madura kopi merupakan hidangan terhormat bagi tamunya, meskipun terkdang tuan rumah itu sendiri tidak suka ngopi. Namun  dalam di setiap rumah pasti menyediakan kopi. Dengan secangkir kopi itulah kami berbicara panjang lebar saling tukar fikiran tertawa bersama, sambil menyaksikan pertujukan.
Yang  paling saya sukai adalah orang tua saya tidak pernah melarang saya menonton kesenian-kesenian tersebut, bahkan  malah memotivasi  saya untuk ikut serta bareng temen-temen  untuk menyaksikan acara kesinaan tersebut  dengan menyediakan uang karcis, uang jajan, dan seorang pendamping yang umurnya lebih dewasa dari saya karena pasti pulang larut malam setiap kali nonton. Jika diperkirakan pulang larut malam dan tempat pertunjukan agak jauh dari rumah, pendamping saya tak lupa membawa kalarè (daun kelapa kering) ,senter dan obor. Seusai pertunjukan, dia —seorang ibu-ibu tetangga saya— membakarnya sebagai obor sepanjang jalan pulang. Sepanjang jalan pulang, rasa senang kami tidak begitu saja sirna dimana  para orang tua dan ibu-ibu dengan  senang hati  mengulang atau menirukan beberapa bagian adegan pertunjukan yang baru saja kami tonton, yang bagi saya kadangkala lebih menyenangkan dibanding pertunjukan yang sebenarnya. Demikianlah saya menikmati kesenian tradisi Madura, meskipun dalam banyak hal tidak paham betul apa isinya. Namun tradisi tersebut mampu menarik masa bahkan menjadi penyambung jiwa solidaritas antar penduduk desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Meskipun terkadang saya terbesit dalam pikiran ternyata, kesenian tradisi Madura ini ternyata tidak berjalan “mulus” dan banyak kalangan yang tidak secara terbuka menerimah  secara lapang dada tradisi yang ada. Sebab kebanyakan  jenis-jenis kesenian ini sebenarnya kurang diinginkan dan cenderung dihindari. Bagi keluarga kami, jenis-jenis kesenian yang ada di Madura ini ternyata merupakan sesuatu yang sedikit-banyak bersifat “asing” dan tidak seiramah dengan ajaran-ajaran dan norma-norma dalam islam yang  mayoritas mansyarakat Madura adalah beragama islam. Meskipun orang tuan saya tak pernah melarang, untuk menyaksikan pertujukan budaya Madura, namun  Dari pembicaraan dan sikapnya beliau, menilai tradisi tersebut  seperti halnya, ludruk, wayang, dan tandha’. bukanlah jenis-jenis kesenian yang dianjurkan oleh syariat islam .karena katanya didalamnya tidak mengandung ajaran-ajaran al-quran dan hadits lain halnya  dengan kesenian hadrah, samroh, atau samman, yang terasa tradisi tersebut lebih diterima dalam keluarga kami khusunya dan masyarkat sekitar umumnya.
Bagi saya, pengalaman masa kecil ini ternyata merupakan miniatur atau puncak gunung es dari polarisasi dan psiko-sosial kesenian dalam masyarakat Madura secara umum. Pertalian kompleks antara Islam, kesenian, dan pola hubungan sosial di Madura merupakan perkembangan dari sistem simbol yang dianut oleh masyarakat Madura sendiri. Jika Islam merupakan sistem simbol melalui mana masyarakat menemukan personifikasinya pada ulama lokal sebagai lembaga yang mengatur dan mempersatukan jalinan sosial yang terpencar-pencar, maka kesenian dalam batas tertentu juga berfungsi sebagai sistem simbol yang melembaga sebagai faktor yang mempersatukan diversifikasi sosial. Tetapi, karena masyarakat Madura bagaimanapun menerima Islam sebagai sistem kepercayaan, dan proses islamisasi terus berlangsung di tengah masyarakat, maka secara umum masyarakat Madura cenderung mensubordinasi kesenian.
Perkembangan kesenian dan masyarakat (kesenian) di Madura bersifat unik, yang secara mikro terlihat pada pengalaman masa kecil saya tadi, dan secara makro akan kita lihat dalam perkembangannya dewasa ini. Secara makro pula kita akan menelusuri aspek-aspek historisnya di masa silam, di mana polarisasi masyarakat (kesenian) dewasa ini merupakan dampak-lanjutan dari konfigurasi sosial keagamaan dan kolonialisme, dengan ulama lokal sebagai institusi sentrumnya. Sudah tentu dalam perjalanannya yang panjang telah terjadi pergeseran dan perubahan polarisasi masyarakat kesenian di Madura, yang —seperti akan kita lihat nanti— bersinggungan dengan proses islamisasi di Madura sendiri secara umum. Namun, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah, polarisasi itu tampaknya bersifat permanen, karena islamisasi di Madura lebih berupaya menawarkan alternatif terhadap kebudayaan Madura, bukan mengisi dan memperkaya kebudayaan yang ada. Kecenderungan islamisasi seperti itu menyisakan sekat psiko-sosial masyarakat kesenian, apalagi Islam cenderung mensubordinasikan kesenian itu sendiri.


         **) Hariyono Nur Kholis, Lahir di Sumenep, 15 Juli 1993, sebuah  kota kecil di  ujung timur pulau Madura. Saat ini sedang melanjutkan Study  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tradisi Budaya Madura Sebagai Pendekatan Komunikasi Antar Budaya"