Budaya Turun Tanah



TURUN TANAH
                                                            Oleh: Habiburrahman  
Budaya adalah pusaka peninggalan nenek moyang yang harus kita lestarikan. Budaya menentukan identitas suatu masyarakat tertentu. Oleh karena identitas itu sendiri yang kemudian mendapat legitimasi dan penghormatan  dari masyarakat diluarnya. Masyarakat berbudaya adalah masyarakat bermartabat. Sehingga, menjaga keaslian budaya agar tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya luar yang secara tegas bertentangan merupakan sebuah keniscayaan sebagaimana menjaga ‘identitas’ nama baik.
Disadari atau tidak secara perlahan pelaku budaya (orang Madura) mulai menjauh diri dari budayanya sendiri. Kemajuan teknologi dan informatika telah merong-rong semangat pemuda sebagai penerus pelestarian pusaka. Dan bukan menjadi hal yang musthail lagi pusaka nenek moyang itu hanya akan tinggal nama dan kenangan. Maka dari itu, kaderisasi adalah solusi penting yang harus diambil guna melestarikannya. Dan salah satu budaya tersebut yang mulai terkikis adalah budaya Turun Tanah.
            Budaya ini diberlakukan bagi bayi usia 7 bulan yang pada saat itu bayi mulai mengenal benda-benda yang dilihat dan disentuh di hadapannya. Maka tak heran budaya ini ada sementara pihak keluarga menandai dengan cara besar-besaran. Dengan mengundang tetangga, sanak kelurga dan anak-anak kecil yang nantinya akan menjadi saksi bahwa bayi tersebut sudah tidak lagi mempunyai pantangan menyentuh tanah atau bumi. 
Dalam prosesi turun tanah, bayi akan menginjak bubur yang terbuat dari beras merah bercampur santan yang diyakini akan membuat sang bayi nantinya bisa tumbuh kuat dan kokoh menjalani kehidupan dunia. Selanjutnya bayi tersebut di hadapkan sejumlah benda-benda seperti sisir, pensil, buku, kaca, dan bedak yang kerap digunakan sebagai kebutuhannya sehari-hari kelak.
            Bila ternyata sang bayi meraih sisir  misalnya, diyakini kelak dia akan selalu tampil dengan rapi demikian pula bila dia meraih pensil atau buku bayi tersebut diyakini akan pandai. Benda tersebut merupakan simbol yang menunjukkan bahwa sejak usia dini anak-anak sudah mulai mengenal apa yang ia harus lakukan kelak setelah besar. Dengan melakukan turun tanah ini sebagai bentuk harapan agar kelak menjadi besar bisa menjadi orang yang berguna.
            Sebelum acara dilaksakan bayi dimandikan terlebih dahulu dengan air yang dicampur dengan bunga. Setelah selesai mandi bayi tersebut akan didoakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat supaya anak ini menjadi anak yang shaleh-shalehah berbakti kepada orang tuanya. Setelah merayakan budaya tersebut lalu diperbolehkan menyentuh tanah serta bermain dengan anak-anak sebayanya ditandai dengan makan bubur bersama.
Menjelang acara usai tuan rumah telah menyiapkan alat pemukul yang terbuat dari sapu lidi yang biasanya di peruntukkan untuk membersihkan kasur    dan ketika acara usai anak-anak yang diundang akan berlarian keluar  karena si tuan rumah akan memukulinya dengan sapu lidih tersebut.
             Makna dengan memukul dengan sapu lidih tersebut agar anak-anak yang membawa sifat jelek yang barangkali dengan bentuk kehati-hatian yang diajarkan oleh para pendahulunya bahwa pada usia bayi yang rentan dimasuki sesuatu  yang dapat mengakibatkan tidak baik bagi bayi  sehingga diadakan pemukulan tersebut.
            Hal seperti ini yang harus kita jaga sekuat tenaga kita karena dengan adanya budaya turun tanah tujuannya dalam menjalankan hidup manusia punya etika atau sopan santun terhadap siapa saja baik yang sebaya atau yang lebih tua.

*) Penulis adalah alumni SMAP AL-IN’AM Gapura Sumenep Madura.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya Turun Tanah"