Secangkir Kopi dan Seorang Lelaki
Oleh: Ardi Wiranata
Imam duduk mematung di atas kursi panjang di sebuah warung kopi
langganannya. Di depannya secangkir kopi panas telah
tersaji. Aromanya yang khas dengan racikan tangan terlatih membangkitkan gairah hidup yang mendingin. Warung kopi dan kopi memiliki keunikan
tersendiri. Di dalamnya tersimpan misteri ruang-ruang
tanpa garis pembatas. Warung kopi adalah Negeri paling plural di
muka bumi. Masyarakatnya paling toleran diantara
masyarakat yang toleran. Tidak ada sekat diantara penghuninya. Bahkan
tidak ada definisi baik dan buruk, semua lebur tanpa arti. Putih atau hitam, pembisnis atau pengangguran, sastrawan atau
penghayal, agamawan atau ateis, mahasiswa atau jalanan berbaur tanpa sekat dan
sulit dibedakan. Mereka berkoar mengorasikan gagasan dan hayalan. Sehingga
warung kopi menjadi tempat persembunyian paling aman bagi putih tanpa warna,
bagi pembisnis tanpa bisnis, bagi sastrawan tanpa puisi, bagi agamawan tanpa
kitab, bagi mahasiswa tanpa makalah, bagi siapa saja tanpa identitas atau pun siapa
saja penyandang identitas palsu. Kecuali pengamen yang menadahkan tangan
setelah sebait lagu selesai dinyanyikan yang dapat dikenali.
“Disinilah tempat persembunyian paling aman. Statusku sebagai pengangguran
intelektual tidak akan tercium.” Kata Imam lalu menyeruduk kopi panas.
Kopi, kopi adalah surga bagi siapa saja yang sedang beribadah. Kopi
adalah neraka bagi siapa saja yang sedang bermaksiat. Kopi adalah masa depan
bagi siapa saja yang memikirkan masa depan.
Kopi adalah hayalan bagi siapa saja yang sedang asik menghayal. Kopi adalah
derita bagi siapa saja yang sedang menderita. Kopi adalah apa saja dan siapa
saja, sebab kopi membuat matamu terbangun dan mata yang terbangun membangunkan
segala pikiran, ingatan dan perasaan.
Sedangkan kopi bagi Imam adalah sesak, kopi adalah harapan diujung penghabisan.
Kopi adalah tanggung jawab yang tidak mampu ditanggung dan dijawab.
Imam, sarjana tanpa pekerjaan sedang bersembunyi di warung kopi
dari kejaran kekasih dan orang tuanya, dari harapan dan
tanggung jawab. Alisnya merapat, matanya
menyempit dan tatapannya kosong dan dalam. Sesekali ia menyerobot kopi panas. Kafein
yang terkandung pada kopi menyulut matanya yang redup, masa depan yang gersang
semakin jelas di penglihatan. Seorang lelaki tanpa jakun. Seorang lelaki dengan
selembar kertas ijazah yang tidak memiliki keahlian apa pun. Memang, saat
menjadi mahasiswa kegiatannya hanyalah kuliah, tidak ada yang lain. Sehingga,
dia tidak punya keahlian apa pun dan jaringan dengan siapa pun. Dan sekarang
dia bersembunyi di warung kopi. Kadang dia menjadi putih tanpa warna, menjadi
pembisnis tanpa bisnis, menjadi sastrawan tanpa puisi, menjadi agamawan tanpa
kitab. Dia menjadi siapa saja dan apa saja tergantung topik apa yang sedang dia bicarakan. Demikianlah Imam
dimata orang yang melihat gelagatnya dari jauh di meja dengan secangkir kopi
panasnya.
Secangkir kopi panas itu mengepulkan asap. Asap terbang kenegeri ingatan,
negeri dimana air mata kekasihnya mengalir menjadi sungai pekat, sepekat
secangkir kopi pahit di hadapannya. Tangisan permohonan seorang kekasih. Sudah dua
minggu yang lalu, Fatimah mendesak Imam untuk segera melamarnya, kekasih yang
sudah dipacarinya sejak semester tiga itu. Imam juga berharap bisa secepatnya
melamar Fatimah. Bagi perempuan desa, usia 23 tahun adalah usia yang sudah tua
dan harus segera menikah. Orang tuanya sudah cemas tentang anak perempuan
semata wayangnya itu dan mulai mencarikannya jodoh. Oleh sebab itulah Fatimah
meminta Imam untuk segera melamarnya, sebab jika tidak, takut keduluan lelaki
lain dan sudah bisa dipastikan lelaki itu akan diterima. Apalagi, menurut
kepercayaan orang desa, lelaki pelamar pertama itu harus diterima, bila ditolak
pamali. Entah apakah itu benar atau tidak tapi demikianlah kepercayaan mereka. Namun,
melamar perempuan tidaklah semudah menghirup secangkir kopi. Butuh keberanian,
modal dan pekerjaan yang mapan. Cinta, cinta hanyalah cangkir yang harus diisi.
Kopi, gula, dan air adalah isinya. Cangkir tanpa isi hanyalah pajangan atau
mungkin rongsokan. Kendati pun keberadaannya penting, bahwa kopi tanpa cangkir
akan tumpah keman-mana.
Belum lagi Imam diburu tanggung jawab sebagai seorang
anak. Sejak lulus sebagai sarjana hukum satu bulan yang lalu, ibu Imam selalu
menelponnya, menceritakan bahwa Sholeh putra Zainab tetangganya yang lulus
berbarengan dengan Imam sudah menjadi dosen di sebuah sekolah tinggi di kota.
Meskipun ibu Imam tidak menuntut Imam untuk menjadi seorang dosen atau siapa
pun, namun adalah tanggung jawabnya untuk membalas budi orang tuanya yang sudah
berumur itu. Cerita-cerita ibunya tentang Sholeh membuatnya tertekan.
Imam kembali menyerobot kopi yang sudah mulai dingin. Matanya
semakin menyala meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Dalam dua
segukan kopinya habis. Imam kembali memesan kopi. Kurang dari dua menit seorang
pelayan cantik datang menyajikan kopi di depannya. Imam tidak mengubrisnya.
Tidak seperti biasa, kali ini dia tidak menggombali si pelayan cantik itu. Sementara
Hamid dan David, teman nongkrongnya sedang sibuk dengan handphone
masing-masing. Imam juga sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Memorinya
terdampar dilorong goa. Samar-samar terdengar suara “Nikahi aku mas. Sholeh sudah jadi dosen.” Suara itu memantul-mantul membentur dinding
tanah menciptakan aroma mistis seperti aroma kopi panas.
“Aku mau kerja apa ya?” Tanya Imam tidak bertenaga tanpa alamat
kepada siapa pertanyaan itu dilontarkan.
“Bekerja sesuai ijazahmu la.” Jawab Hamid sekenanya sembari
jari-jarinya sibuk memilih huruf abjad di layar handphonenya.
Imam kembali mematung sejenak. Pikirannya mengembara di jalan-jalan
kota, di kampus-kampus, di pabrik-pabrik, di kantor kantor sampai di gang-gang
sempit, mencari pekerjaan apa yang bisa dia lakukan. Lalu, ia menyerubut kopi
panas yang baru saja dipesannya lagi. Lidahnya terbakar. Ia tersentak, mata dan
pikirannya terjungkal keatas
genangan air hitam mendidih dilingkaran kecil, secangkir kopi panas.
“Sulit untuk diterima menjadi hakim atau jaksa atau menjadi dosen
hukum, saingannya banyak.”
“Saingannya banyak atau kamu yang tidak mampu bersaing.?” David
meledek.
“Dua-duanya.” Imam meniup-niup kopi panasnya. Mendinginkan
kepalanya yang sedang panas mendidih. Panas oleh gesekan dan tekanan. Gesekan
pacarnya, Fatimah yang memintanya untuk segera menikah dan tekanan orang tuanya
dengan bahasa sindiran yang selalu bercerita Sholeh yang sudah menjadi dosen.
Imam tiba-tiba memukul bangku keras. Hamid dan David serta seluruh
pengunjung warung kopi terkaget. Semua mata tertuju pada Imam dengan bibir
terkunci. Sadar apa yang telah dia lakukan, Imam meminta maaf lalu menatap
lantai.
“Ada apa kawan?” Tanya Hamid mengiba sembari mengunci layar
handphonenya.
“Aku mau kerja apa ya?” mengulang pertanyaan yang sama.
“Selain ijazah yang kau miliki itu, keahlian apa yang kamu miliki?”
David membalas dengan pertanyaan.
“Aku tidak memiliki keahlian apa-apa selain selembar kertas ijazah
itu”
“Kau lelaki tanpa identitas.” Hamid sedikit mengejek.
Imam menyulut rokok. Pipinya yang kurus cekung menghisap api di
ujung rokok yang tidak ber-merk itu, semakin mempertegas bahwa dia seorang
sarjana pengangguran, seorang sarjana yang diburu pengaharapan dan
tanggung jawab. Dahinya mengerut, pikirannya
kembali mengembara. Sementara
mulutnya terus saja menghisap dan menyemburkan asap. Asap putih menguap dari
mulutnya yang dibiarkan terbuka begitu saja setelah setiap kali menghisap
rokoknya. Terbang berhamburan seperti hidupnya yang pasrah pada angin, angin
malam yang dingin. Lelaki tanpa keahlian, seperti cangkir tanpa
kopi atau lelaki tanpa secangkir kopi.
0 Response to "Secangkir Kopi dan Seorang Lelaki"
Post a Comment