Islam Sebagai Sasaran Studi dan Penelitian
Pada awal tahun 1970-an, berbicara mengenai
penelitian agama di IAIN dianggap tabu. Agama adalah wahyu tidak mungkin bisa
diteleti menurut kaca mata ilmiyah. Sebab antara ilmu dan nilai, ilmu dan agama
tidak dapat disinkronkan. Senada dengan itu, sikap yang sama juga terjadi
dibarat. Dalam pendahuluan buku Seven Theoris Of Religion dikatakan,
dahulu orang eropa menolak anggapan kemungkina agama diteliti.
Mungkinkah kita meneliti agama, apalagi agama
islam, oleh orang islam sendiri? Tentu saja, agama, termasuk islam sangat
mungkin diteliti. Dalam bab ini akan dibicarakan mengenai agama sebagai gejala
budaya dan sosial, islam sebagai wahya dan produk sejarah, studi islam
diperguruan tinggi di dunia dan refleksi untuk masa depan IAIN.
A. Agama sebagai gejala budaya dan gejala sosial
Dalam penelitian agama yang harus dipertanyakan
pertama kali adalah agama yang sedang diteliti akan dilihat dari gejala apa,
menurut perspektif mana agama akan
diteliti. Kemudian berusaha mensinkronkan antara agama dan perspektif keilmuan
tersebut.
Pada awalnya ilmu hanya ada dua: ilmu kealaman dan
ilmu budaya. ilmu kealaman mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada
alam. Dimana suatu hasil penelitian dapat dites pada waktu yang lain dengan hasil yang sama dengan
memperhatikan gejala eksak. Mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang
kemudian diangkat menjadi teori (positifisme). Sebaliknya, ilmu budaya
mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik.
Sementara penelitian ilmu sosial berada diantara
penelitian kealaman dan penelitian budaya, yang mencoba memahami gejala-gejala
yang tidak berulang tetapi dengan memahami keterulangannya. Terdapat dua aliran
penelitian sosial. Pertama, aliran bahwa penelitian sosial lebih dekat pada
penelitian budaya. Kedua, aliran yang menyatakan lebih dekat pada penelitian
kealaman. Dikalangan sosiologi indonesia juga ada dua kelompok: kelompok
kualitatif dan kelompok kuantitatif.
Pertanyaanya
adalah bisakah agama didekati secara kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya,
bisa. Agama bisa didekati secara kuantitatif dan kualitatif sekaligus, atau
salah satunya, tergantung agama yang sedang ditetliti itu dilihat sebagai
gejala apa.
Ada lima bentuk
gejala yang perlu diperhatikan. Pertama, scripture dan simbol-simbol.
Kedua, para penganut agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat. Keempat,
alat-alat. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut
berkumpul dan berperan. Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu
atau beberapa dari bentuk gejala tersebut.
Kita boleh
mengambil tokohnya sebagai sasaran penelitian agama. bagaimana kehidupan tokoh
tersebut dan pemikirannya. Dapat pula kita meneliti Alqur’an sebagai sumber
nilai, masjid sebagai alat-alat, shalat sebagai ibadat dan atau Syi’ah sebagi
organisasi keagamaan.
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya
tertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama
mempelajari interaksi antara agama dan masyarakat. Belakangan, sosiologi agama
mempelajari bukan soal hubungan timbal-balik itu, melainkan lebih pada pengaruh
agama terhadap tingkah laku masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri masyarakat
juga mempengaruhi pemikiran keagamaan. kitabnya boleh satu tapi interpretasi
terhadap kandungan kitab tersebut bisa jadi berbeda. Seperti lahirnya teologi
Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai produk pertikaian politik.
Letak geografis, budaya, kondisi sosial, politik
dan sebagainya juga dapat menjadi faktor perbedaan penafsiran masyarakat
terhadap “kitab” atau dengan kata lain masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran
keagamaan. Dan ini juga bisa menjadi sasaran penelitian agama.
1.
Islam sebagai wahyu
Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wahyu
terdiri dari dua macam: Al-Qur’an dan hadits. Kedua wahyu ini dapat menjadi
sasaran penelitian.
Dalam Al-Qur’an sendiri banyak persoalan-persoalan
yang penting untuk diteliti. Mulai dari latar belakang lahirnya suatu ayat,
maksud ayat tersebut, pemahaman terhadap ayat, cara membaca, melagukan, dan
lain-lain. Mengenai nasakh-mansukh para ulama berbeda pendapat dalam
jumlah ayat yang dimansukh. Dan perbedaan ini perlu diteliti.
Selanjutnya, menjadi penting pula menjadi sasaran
penelitian adalah isi Al-Qur’an itu sendiri. Sebab Al-Qur’an selain berbicara
tentang keimanan, ibadah, aturan-aturan, juga berbicara isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini studi interdisipliner menjadi keniscayaan. Maka
ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, matematika dan sebagainya perlu dipelajari
dalam upaya memahami Al-Qur’an.
Kemudian, islam sebagai wahyu yang dicerminkan
dalam hadits-hadits yang ternyata banyak pula persoalan-persoalan yang perlu
diteliti. Pengumpulan hadits, misalnya, yang dalam sejarah pengumpulannya mengalami peningkatan jumlah. Mengapa bisa
demikian? Ada pula hadits shahih, mutawatir, mashur dan ahad, hadits dirayah
dan riwayah. Wilayah-wilayah inilah
antara lain yang dapat dijadikan kajian atau sasaran penelitian.
Studi interdisipliner terhadap hadistpun perlu pula
dilakukan. Seperti hadist mengenai psikologi, pendidikan, iptek dan sebagainya.
Usaha pengumpulan dan pembandingan
hadist dengan penemuan ilmu modern penting dilakukan.
2.
Islam sebagai produk sejarah dan sasaran
penelitian
Islam sebagai wahyu yang datang langsung dari Allah
ternyata ada bagian-bagian daruinya yang merupakan produk sejarah. Teologi
syi’ah, konsep Khulafa ar-Rasyidin, kitab Al-Muwatta, sistem politik, ekonomi
dan sosial di negara-negara islam, arsitektur islam, lukis, kaligrafi, seni dan sebagainya adalah produk sejarah. Dan
semua itu dapat dijadikan objek penelitian.
0 Response to "Islam Sebagai Sasaran Studi dan Penelitian"
Post a Comment