Kitab Kuning



Kitab Kuning
 Dalam Menjawab Isu Kontemporer

Kitab kuning adalah terminologi lain dari kitab salaf yang lazim dipakai oleh para santri untuk menyebut kitab-kitab yang diajarkan sang Kiai di Pesantren. Kata ‘kuning’ itu sendiri diambil dari kertas yang digunakan dalam mencetak atau menulis. Dahulu kala pada saat kitab itu ditulis dan kemudian hampir seluruhnya dicetak dengan kertas berwarna kuning sehingga mereka menyebut karya-karya Ulama klasik tersebut dengan nama kitab kuning.
Nama ‘kitab kuning’ menjadi nama yang baku dikalangan para santri. Ada yang menyebut ‘kitab gundul’ oleh karena kitab ini tidak bersyakal (berharakat) bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali. Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), yaitu produk pemikiran para ulama lampau (salaf) yang ditulis dengan format khas pramodern, sebelum abad 17-an. Sesudahnya tidak menjadi ‘kekhususan’ dalam penyebutannya.
            Secara materiil, kitab kuning cukup beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, imu ushul fiqih, ilmu fiqih, syari’at, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng.
Sedang secara substansial sebenarnya tidaklah berbeda dengan kitab-kitab atau buku-buku bertuliskan bahasa Ingris, Indonesia atau lainnya. Ia adalah bagian dari ilmu, bagian dari karya ilmiah. Selebihnya, kitab yang satu ini mendapatkan posisi yang sangat istimewa utamnya bagi para santri dan kurang mendapat tempat ‘istimewa’ bagi kalangan umat Islam secara luas. Istimewa dalam artian sedikit umat Islam yang mampu membaca dan memahaminya.
Dalam diskursus keilmuan kontemporer pun rupanya kitab kuning kurang mendapat perhatian. Promosi dan citra kitab kuning di wilayah luas, sekolah-sekolah dasar sampai di Perguruan Tinggi, STAIN/UIN demikian rendah. Hal itu terbukti minimnya referensi-referensi yang dipakai bersumber dari ‘kitab kuning’. Perlu ditegaskan kitab yang dimaksud adalah kitab klasik pramodern, sebelum abad 17-an.  
            Rendahnya promosi kitab kuning membuat dirinya jarang, untuk tidak mengatakan tidak terpakai sama sekali dijadikan referensi dalam memecahkan isu-isu kontemporer, seperti isu-isu liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Kebanyakan lebih mengambil wacana-wacana yang datang dari-dalam hal ini-barat yang kontekstual dangan zaman dan mendapatkan ruang luas.
            Hal ini menjadi dilema tersendri bagi kontinuitas tradisi (pembelajaran) kitab kuning sebagai khazanah keilmuan Islam. Mengingat mulai tanpak modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan mengikis ketertarikan untuk mempelajari dan mendalaminya. Setidaknya ada lima faktor yang menjadi penyebab rendahnya nilai promosi dan citra kitab kuning rendah, yaitu:
Pertama, identifikasi atau penyandangan identistas yang dikhususkan. Kitab kuning seringkali diidentikkan dengan kaum sarungan. Kaum sarungan disini adalah santri yang menuntut ilmu di Pesantren-pesantren. Penetapan keadaan khusus kitab kuning sebagai kitab kaum sarungan sama dengan mempersempit esensi dan substansi kitab kuning sebagai bagian dari khazanah keilmuan.
Asumsi semacam ini dapat diterima bila dilihat dari perjalanan historis kaum sarunganlah yang tetap gigih mempertahankan tradisi (belajar) kitab kuning sampai saat ini. Penyandangan identitas ini menimbulkan sikap apatis bagi mereka yang tidak nyantri. Dan dipihak santri merasa manusia paling memahaminya dan meragukan pemahaman diluar dirinya. Sikap seperti inilah yang ditakutkan dari penyandangan identitas secara khusus.
Seharusnya, identifikasi ini dihilangkan. Kitab kuning ditempatkan pada posisi esensinya sebagai ilmu. Ia (kitab kuning) adalah bagian dari ilmu yang pantas dipelajari oleh setiap penuntut ilmu baik yang nyantri atau tidak, sekolah swasta atau negeri. Jika kitab kuning ditempatkan pada posisinya sebagai ilmu dengan materi yang beragam itu maka siapapun, baik santri atau diluarnya, bahkan diluar agama (islam) punya hak untuk mempelajari dan mendalaminya.
Kedua, lokalisasi. Lokalisasi pemebelajaran kitab kuning di Pesantren saja, meski ini terjadi secara alami sebagai konsekuensi historis, membuat kitab kuning tidak banyak dikenal. Seakan kitab kuning dan pesantren menjadi satu kesatuan yang apabila dipisahkan akan hilang eksistensinya dan demikian sebaliknya. Di lembaga pendidikan formal dibawah naungan Depag kitab kuning tidak atau kurang mendapatkan kesempatan yang luas. Padahal kitab kuning adalah materi agama (islam) yang seharusnya di masukkan dalam kurikulum. Bukan kitab terjemahan seperti fiqh Depag.
Ironis memang apabila siswa keluaran Madrasah Aliyah tidak mampu membaca kitab kuning sebagai referensi utama ilmu agama. Akan merujuk kemana mereka jika memaknai tulisan berbahasa Arab tidak mampu apalagi memahami agama dengan dasar referensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Sementara Al-Qur’an dan Hadits sebagai referensi tertinggi berbahasa Arab. Fiqh depag terjemahan itu pun tidak cukup memenuhi kebutuhan keagamaan siswa.
Disini, pelajaran kitab kuning tentu dengan seperangkap pendukungnya, sarraf-nahwu-bahasa Arab harus menjadi tanggung jawab dengan sungguh semua pihak utamanya lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, STAIN/UIN tidak hanya dilokalisasikan atau menjadi tanggung jawab pesantren saja.
Sehingga, dengan upaya pengenalan atau pembelajaran kitab kuning secara luas diharapkan dapat mengangkat promosi dan citra kitab kuning sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dalam memecahkan persoalan-persoalan kontemporer. Kitab kuning menjadi referensi yang patut diperhitungkan.
  Ketiga, sakralisasi. Kitab kuning oleh kaum sarungan seringkali disakralkan secara berlebihan. Ia disejajarkan sakralitasnya seperti Al-Qur’an dan Hadits-dalam wilayah tertutup  dari kritik-dan harus diterima secara parsial-revivalis. Ia dianggap final tanpa ada upaya dekonstruksi untuk menghasilkan kontruksi baru yang kontekstual dan absah. Kiranya, ini yang membuat kitab kuning jenderung lokal, tidak merata hanya di pesantren-pesantren saja yang ketundukan secara total berlaku.
Konsekuensinya, kitab kuning mengalami stagnan. Stagnan dalam artian tidak ada (lahir) karya baru yang mampu berdialog dengan probelamatika kekinian. Misalnya, isu tentang liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Dan ini rupanya kurang mendapat perhatian. Kitab kuning yang dipelajari yang itu-itu saja tanpa usaha mengkritisi dan meng-kontekstualisasikan dengan kekinian. Miskinnya karya progresif ini menjadikan kitab kuning usang jika dihadapkan dengan kompleksitas perrmasalahan kontemporer.
Sedang dari pihak yang lain. Dalam hal ini barat kian gencar menawarkan pemikiran-pemikiran segar untuk menjawab persoalan kontemporer ini. Sehingga, promosi buku-buku barat tinggi dan dalam waktu yang bersamaan promosi kitab kuning kian melemah. Reaktualisasi pemikiran yang terkandung dalam kitab kuning menjadi harga mahal. Dengan upaya ini diharapkan wacana ke-islaman juga ikut andil dalam menjawab kompleksifitas persoalan kekinian.
Kitab kuning sebagaimana yang pertama harus dikembalikan posisinya sebagai ilmu, karya ilmiah para ulama. Sebagai ilmu dan produk manusia kitab kuning tidak bisa lepas dari subjektifitas dalam hal ini subjek sebagai pemikir dalam merespon kondisi sosio-kultur yang melatar belakangi pemikirannya. Sebuah pemikiran demikian itu harus selalu terbuka dengan kritik dan perubahan. Menurut Thomas Kuhn, Pemikiran sejatinya adalah evolusi paradigma yang akan tumbang oleh paradigma baru searah dengan perubahan.
Kesetiaan pada karya-karya ulama klasik yang ditulis beberapa abad silam yang tentu merupakan refleksi mereka (para ulama) terhadap sosia-kultur pada saat itu adalah bahwa sebahagian tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini yang homogen dan pluralis. Menarik secara paksa masa kini menjadi masa lalu tidak akan menemukan titik harmonis.
Perubahan adalah keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa dihindari. Perubahan ini menuntut pemikiran-pemikiran baru yang mampu beradaptasi dengannya, pemikiran segar yang memeberi ruang kelangsungan hidup beragama, bersosial dan berbangsa-bangsa. Tradisionalisasi pemikiran hanya akan mereduksi manusia dari realitas dan melemparkannya pada keterbelakangan.
Sakralisasi kitab kuning yang dalam kurun waktu lama ini harus diarahkan. Upaya untuk menemukan formula baru yang kontekstual tanpa menghilangkan nilai-nilai universal yang terkandung didalamnya dan tanpa mengurangi rasa hormat terhadapnya. Oleh karena itu upaya dekonstruksi pemikiran ulama klasik yang termaktub dalam kitab kuning untuk menghasilkan kontruksi dan formulasi baru yang mampu berdialog secara proaktif dengan isu kontemporer perlu dihargai. 
Keempat, fanatisme ber-kitab. Sikap fanatik ini adalah kelanjutan dari identifikasi, lokaliasi dan sakralisasi kitab kuning. Oleh karena kitab kuning demikian disakralkan maka lahirlah sikap apatis, alergi dan timbul sikap curiga terhadap kitab-kitab diluarnya. Menurut mereka hanya kitab kuning yang terjamin keabsahannya dan buku-buku bertuliskan Arab tanpa klasifikasi tersendiri mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi dari buku-buku latin.
Fanatisme pada gilirannya melahirkan sikap eksklusif-konserfatif dan menolak modernitas dengan melakukan perlawanan aktif (anarkis) atau pasif (fundamnetalis). Kondisi ini tentu sangat memperihatinkan. Sikap eksklusif-konservatif dengan menolak modernitas menjebak mereka pada keterbelakangan dan anarkisme. Tidak berlebihan kiranya bila Imam Gzazali pernah berkata bahwa “musuh yang paling berbahaya sejatinya adalah sikap fanatik”.
Sehingga, pada gilirannya kitab kuning itu sendiri sebagai ilmu dan kaum fanatik sebagai subjek terisolir dengan sendirinya dari percaturan dunia yang semakin terbuka dan menghargai perbedaan. Konsekuensi logisnya adalah promosi dan citra kitab kuning rendah.
Kesimpulanya adalah jika kitab kuning ingin tetap survive ditengah arus globalisasi dan mampu ambil bagian dalam pemecahan kompleksifitas persoalan kontemporer kitab kuning harus leaving dari identitas personal, dari lokalisasinya, dari sakralitas butaya, fanatisme subjeknya, dari tradisionalnya dan harus berani keluar berdialog dengan kondisi dan situasi kekinian tanpa menghilangkan nilai-nilai universalnya. Dengan ini diharapkan kitab kuning mampu ikut ambil bagian dalam menjawab atau merespon setiap perubahan zaman.
Perubahan bukanlah ancaman melainkan sejatinya adalah proses penyuburan keilmuan atau pemikiran apabila kita mampu  terus berdialog dengan perubahan. Kitab kuning bukan ilmu klasik, tradisional yang sudah usang dan harus disingkirkan. Karena sebagai ilmu, ia akan tetap menjadi pertimbangan atau referensi dalam melahirkan ilmu baru.
Upaya yang sangat urgen dilakukan adalah menciptakan formulasi baru yang mampu berdialog dengan zaman. Utamanya hal yang berkaitan dengan ‘kemanusiaan’. Melahirkan pemikiran-pemikiran segar dengan tidak melupakan pesan nilai-moral universal kitab kuning. Sehingga promosi kitab kuning  naik dan layak diperhitungkan dalam perdebatan keilmuan masa kini dalam menjawab isu-isu kontemporer.
Apabila ini mampu diwujudkan maka dengan sendirinya kitab kuning akan keluar dari identitas personal, dari lokalisasinya, dari sakralitasnya, fanatisme subjeknya, dari tradisionalnya. Dan kitab kuning akan kembali menemukan momentum kejayaannya sebagaimana pada abad 17-an. Wallahu a’lam…!
           

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kitab Kuning"